MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
METODOLOGI DAN KRITIK ILMU HADIS
MENURUT SARJANA MUSLIM
Disusun Oleh:
Tri Mashudi 111-11-177
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah, tiada kata yang
cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT.
Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah saya sanggup menyelesaikan makalah tentang
“Metodologi
dan Kritik Ilmu Hadis Menurut Sarjana Muslim” ini dengan lancar.
Makalah ini disusun selain guna
memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam juga untuk memberikan tambahan
wawasan kepada pembaca mengenai metodologi dan kritik
ilmu hadis menurut sarjana muslim. Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan
tentang hal tersebut.
Ucapan terimakasih saya persembahkan kepada teman-teman
atas segala masukan dan pemikirannya dalam menanggapi hasil makalah
dari saya. Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan
kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR.
Salatiga, Mei 2013
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini, umat Islam disuguhkan oleh tulisan-tulisan atau pikiran
yang secara berani melakukan kritik terhadap hadis Nabi. Baik dari sisi matan
(konten, isi), ataupun dari sisi perawi. Yang ironis lagi, kritik terhadap
hadis tidak melulu datang dari orang di luar Islam, tetapi dari internal umat
Islam sendiri kerapkali muncul pernyataan-pernyataan yang mengkritik hadis
Nabi, mengkritik para sahabat Nabi, Imam Bukhari, dan beberapa imam Muhaddis
lainnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Mengetahui kajian teks tentang studi hadis
2.
Mengetahui perbedaan metodologi kajian hadis
3.
Mengetahui kajian sarjana Muslim Modern
C.
TUJUAN
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam.
2.
Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai metodologi dan kritik ilmu hadis menurut
sarjana muslim.
3.
Memahami hal-hal yang berkaitan tentang metodologi dan kritik hadis dalam kehidupan umat Islam sekarang ini.
BAB II
PEMBAHASAN
METODOLOGI DAN KRITIK ILMU HADIS
A.
Model Kajian Studi Hadis
Hadis merupakan
sumber utama Islam kedua setelah Al-Qur’an. Karena itu, perdebatan tentang
hadis bukanlah suatu yang mengejutkan hingga saat ini terus terjadi. Pada akhir
abad ke-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti dan semakin banyak
memperoleh perhatian dari kalangan dunia Islam dan Barat. Ini disebabkan
penemuan-penemuan banyak sumber baru dan perkembangan dalam bidang metodologi.
Metodologi baru yang berkembang dalam studi hadis adalah dua pendekatan yang
dapat dibedakan, yaitu:
1. Analisis isnad[1]
terhadap hadis-hadis ahad, dan ini merupakan alat penelitian yang sangat
kuat.
Hadis ahad adalah suatu hadis yang diriwayatkan dengan
satu jalan atau lebih, tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir.[2]
2. Pendekatan yang fokus pada analisis teks (matan[3])
hadis yang dikembangkan melalui penyelidikan varian teks-teks hadis dan
kombinasi pendekatan analisis teks dan analisis isnad.[4]
Kita dapat mengetahui bahwa problem otentisitas hadis telah menjadi
perbincangan di kalangan sarjana modern. Hal ini juga menjadi bahan perdebatan
di kalangan sarjana Muslim klasik. Sarjana Barat, Gustav Weil menyatakan bahwa
jumlah yang sangat besar dari hadis perlu dilihat secara mencurigakan. Joseph
Schacht berpendapat bahwa sejauh hadis yang sah diperhatikan, hadis-hadis itu
diasumsikan merupakan hadis palsu kecuali jika kita dapat membukuktikan
kebalikannya.[5]
Jadi, model
kajian terhadap studi hadis sangatlah merumitkan dan penuh dengan tantangan.
Model kajiannya ada dua macam yaitu, studi hadis dengan menganalisis isnad (sanad),
dan studi hadis dengan menganalisis teks (matan) hadis. Sehingga dengan dua
model kajian tersebut akan diketahui hadis mana yang sah (sahih), ahad dan
dhoif.
B. Metodologi Kajian Hadis (Sarjana Barat dan
Sarjana Timur)
Perbedaan
antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana hadis Barat bersandar pada
perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi Islam secara keseluruhan. Perbedaannya
adalah:
1. Menurut Sarjana Timur
Azami berpendapat, sikap Muslim tradisional terhadap hadis dapat dilihat
sebagai berikut:
“...Sunnah, atau hadis Nabi...merupakan sumber
utama kedua dalam hukum Islam, benar selamanya, dan kehidupan Nabi merupakan
teladan yang harus diikuti oleh Muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk
alasan ini, para sahabat, bahkan yang hidup pada masa Nabi, mulai mengembangkan
pengetahuan tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh Nabi sendiri.”
Dengan kata lain, hadis memiliki peran utama
dalam Islam. Pandangan tradisional mengenai cara-cara untuk memelihara hadis
pada masa para sahabat yaitu menurut Anas bin Malik, seorang pembantu Nabi, bahwa
para sahabat duduk bersama Nabi sekitar 60 orang dan Nabi mengajarkan hadis.
Kemudian para sahabat menghafalkan hadis hingga tertanam dalam jiwa mereka.
Bagi sarjana Muslim yang yakin bahwa Islam telah ditegakkan oleh Allah yang
Maha Mengetahui melalui seorang Nabi yang ma’sum, secara keseluruhan
dapat diterima akal bahwa Muhammad saw. sangat memperhatikan bentuk agamanya
yang akan dielaborasi secara penuh beberapa abad kemudian.
Bagi sarjana Barat, tidaklah masuk akal bahwa
hadis, cerita-cerita dan perkataan-perkataan Muhammad saw. diakui dan
dikumpulkan sebagai hadis dalam arti teknis sudah ada pada masa Nabi hidup.
Setelah Nabi wafat, para sahabat mencari petunjuk dalam menghadapi situasi
baru, seperti perluasan wilayah Islam, mencari petunjuk bagi keimanan Islam
mereka yang baru. Karena dengan mencari petunjuk keimanan yang baru, maka
muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka
contoh-contoh dari kehidupan Muhammad dilihat kembali dan tidak selalu akurat.
Upaya mengumpulkan jawaban dari kehidupan nabi ini kemudian diformalkan menjadi
sunnah atau hadis yang terdiri dari ribuan hadis, yang sebagian benar-benar
menjelaskan kata-kata dan perbuatan Nabi dan sebagian lainnya tidak.[6]
Dalam mengetahui apakah suatu hadis itu
otentik atau tidak, maka ada beberapa hal atau kriteria yang harus dipenuhi.
Kriteria utama untuk menentukan keaslian hadis adalah dengan penilaian terhadap
isnad, diantaranya:
a. Apakah seluruh rantainya saling berhubungan.
Tidak boleh ada periwayat yang tidak punya nama, dan semua periwayat harus
bersinggungan dengan waktu hidup periwayat lainnya, atau dalam satu tempat
bersama periwayat lainnya ketika mendengarkan hadis dan menyampaikannya.
b. Karakter moral dan rantai periwayatnya, apakah
mereka jujur, tidak berbuat dusta dan membuat hadis palsu.[7] Telah menjadi konsesus (ijma’) ulama Ahussunnah wal
Jamaah, bahwa seorang rawi (orang yang meriwayatkan hadis) haruslah ’adil
(kompeten), dhabith (teliti), tsiqqah (cermat), tidak mudallis (berbohong), dan
memiliki kemampuan menghafal yang kuat.[8]
Pada masa Ibn Mubarak, seorang muhaddis harus memiliki 4 kriteria bagi
seorang periwayat yang berperilaku benar (‘adl), diantaranya:
a. Ia harus beribadah secara berjama’ah
b. Tidak minum anggur
c. Tidak berkata bohong
d. Tidak menderita penyakit mental.[9]
Akhirnya, standar yang ditetapkan untuk menilai periwayat hadis ada sekitar
12. Dengan hal ini, dibagi dalam dua kelompok yaitu hadis Maqbul dan hadis
mardud.[10] Hadis maqbul adalah hadis yang diterima dan hadis mardud adalah hadis yang
ditolak.[11]
Adapun dari segi matan, para ulama telah menyebut
istilah-istilah dan kaidah untuk mengetahui hadis yang shahih, hasan, do’if dan
maudhu’.
2.
Menurut
Sarjana Barat
Para
sarjana barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode untuk menentukan
otentisitas hadis berdasarkan isnad. Mereka memiliki alasan untuk meragukan
adanya hadis-hadis yang tidak berasal dari Nabi karena hadis-hadis itu bicara
tentang persoalan yang muncul setelah Nabi wafat. Banyak sarjana Barat melihat
matan selakigus isnad untuk menentukan keaslian suatu hadis, begitu pula mereka
menentukan bukti ketidakaslian suatu hadis berdasarkan isnad dan matannya.
Sebagian mereka memandang bahwa isnad kadang-kadang “tumbuh belakangan”. Asumsi
sarjana Barat adalah bahwa karena pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu kritik
hadis menjadi lebih canggih, yang menuntut suatu hadis memiliki asal-usul dari
Nabi sendiri.
C. Kajian Sarjana Muslim Modern
Kajian para
sarjana Muslim Modern berkaitan dengan persoalan kritik teks yang pada akhirnya
dapat meragukan beberapa catatan tentang hadis. Diantara mereka adalah M.
Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad Adham. Kritik
yang mereka ungkapkan adalah:
1. Rashid Ridha membahas kritik matan hadis. Ia
mempersoalkan beberapa hadis yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim.
2. Mahmoud Abu Rayyah membahas bahwa metode
penelitian dan kajian hadis tidak dapat berubah dan ilmu riwayat menjadi kaku
sejak awal-awal Islam dan tidak mau berubah.
3. Ahmad Amin membahas masalah para sarjana yang
meletakkan berbagai aturan yang sangat hati-hati untuk mengkritik dan menilai
hadis yang terlampau rinci. Namun, intinya metode mereka lebih memerhatikan
untuk menilai periwayat daripada riwayatnya itu sendiri.
4. Ismail Ahmad Adham, mengatakan bahwa para
sarjana hadis dan kritik mereka tidak mengarahkan pada kritik teks yang
dilakukan secara ilmiah. Ini menggambarkan keraguan tentang karakter para
periwayat hadis termasuk sahabat.
Kajian dari
empat sarjana Muslim diatas memperoleh respon dan reaksi dari beberapa sarjana
Muslim lainnya. Muhammad Abdur Rauf, mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan
tentang karya klasik hadis dan para periwayat yang terhormat telah dilakukan
oleh penulis modern Abu Rayyah. Ratusan halaman ditulis untuk mempertahankan
sunnah dari para penolaknya.
As-Siba’i
menyebutkan mislanya, 15 kriteria yang dikemukakan oleh para kritikus hadis
awal untuk memisahkan hadis-hadis otentik dari yang palsu dengan memperhatikan
matannya. Misalnya, hadis tidak bertentangan dengan prinsip fundamental akal,
prinsip-prisip umum kearifan dan moralitas, makna-makna yang diketahui melalui
pengamatan langsung, atau prinsip-prinsip fundamental pengobatan. Hadis-hadis
tidak boleh berisi pernyataan yang rancu atau bertentangan dengan Al-Qur’an.
Abu rauf juga
mengkritik klaim kaum orientalis dan menyatakan bahwa tujuan utama meneliti
isnad adalah memelihara kredibilitas matan. Karena itu, para muhaddisuan awal
mengumpulkan hadis dengan hati-hati dan menolak menerima hadis-hadis yang
bertentangan dengan akal.
Sementara itu,
Syekh Muhammad Al-Ghazali mencatat dua prinsip kritik matan hadis sebagai
berikut:
1. Matan harus bebas dari syuzus, yakni
bertentangan dengan sumber yang lebih terpercaya.
2. Matan harus bebas dari cacat serius (‘illah
qabihah).
Dengan
demikian, sebenarnya para muhadisun awal telah memberikan tekanan pada isnad
pada saat melakukan kritik hadis, dan mereka telah mengabaikan kritik atas
muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliru. Karena pada
faktanya, para muhaddisun telah mengupanyakan kritik hadis baik dari sisi isnad
dan matannya.[12]
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis merupakan sumber utama Islam kedua
setelah Al-Qur’an. Di dalam pembahasan metodologi dan kritik ilmu hadis, maka
kita kan menemukan beberapa kaidah yang menyebutkan adanya model-model studi
hadis, dan ilmu atau cara untuk mengetahui suatu hadis itu otentik dari
sumbernya yaitu Muhammad saw. atau tidak otentik (hadis palsu). Banyak sekali
kritik-kritik tentang hadis yang dilontarkan oleh para sarjana Muslim dan juga
para sarjana Barat. Model dalam kritik hadis ada dua, yaitu dengan analisis isnad
dan analisis matannya. Tetapi yang paling utama adalah mengenai analisis
isnadnya.
B. Penutup
Sekian
makalah yang dapat saya buat, saya sangat menyadari keterbatasan saya sebagai
manusia yang tentunya berpengaruh pada hasil karya saya. Oleh karena itu,
apabila karya saya ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, saya
mohon maaf yang seikhlasnya kepada segenap pembaca. Semoga makalah saya ini
bermanfaat serta dapat menambah wawasan para pembaca dan saya juga berharap
makalah ini dapat diterima sebagai pemenuhan nilai tugas dan pembelajaran.
Terima kasih atas perhatian dan partisipasinya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
DAFTAR ISI
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam Pendekatan Dan
Metode. Yogyakarta:Insan Madani.
Husnan, Ahmad. 1980. Gerakan Inkaru As-Sunnah Dan
Jawabannya. Jakarta:Media Dakwah.
Fayyad, Mahmud Ali. 1997. Metodologi Penetapan
Kesahihan Hadis. Bandung:CV Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar