Kamis, 05 Desember 2013

METODOLOGI DAN KRITIK ILMU HADIS MENURUT SARJANA MUSLIM

MAKALAH
METODOLOGI STUDI ISLAM
METODOLOGI DAN KRITIK ILMU HADIS
MENURUT SARJANA MUSLIM

Disusun Oleh:
Tri Mashudi                 111-11-177



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah saya sanggup menyelesaikan makalah tentang “Metodologi dan Kritik Ilmu Hadis Menurut Sarjana Muslim” ini dengan lancar.
Makalah ini disusun selain guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca mengenai metodologi dan kritik ilmu hadis menurut sarjana muslim. Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang hal tersebut.
Ucapan terimakasih saya persembahkan kepada teman-teman atas segala masukan dan pemikirannya dalam menanggapi hasil makalah dari saya. Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR.

Salatiga,  Mei 2013

Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini, umat Islam disuguhkan oleh tulisan-tulisan atau pikiran yang secara berani melakukan kritik terhadap hadis Nabi. Baik dari sisi matan (konten, isi), ataupun dari sisi perawi. Yang ironis lagi, kritik terhadap hadis tidak melulu datang dari orang di luar Islam, tetapi dari internal umat Islam sendiri kerapkali muncul pernyataan-pernyataan yang mengkritik hadis Nabi, mengkritik para sahabat Nabi, Imam Bukhari, dan beberapa imam Muhaddis lainnya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Mengetahui kajian teks tentang studi hadis
2.      Mengetahui perbedaan metodologi kajian hadis
3.      Mengetahui kajian sarjana Muslim Modern

C.     TUJUAN
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam.
2.      Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai metodologi dan kritik ilmu hadis menurut sarjana muslim.
3.      Memahami hal-hal yang berkaitan tentang metodologi dan kritik hadis dalam kehidupan umat Islam sekarang ini.

BAB II
PEMBAHASAN
METODOLOGI DAN KRITIK ILMU HADIS
A.    Model Kajian Studi Hadis
Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al-Qur’an. Karena itu, perdebatan tentang hadis bukanlah suatu yang mengejutkan hingga saat ini terus terjadi. Pada akhir abad ke-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti dan semakin banyak memperoleh perhatian dari kalangan dunia Islam dan Barat. Ini disebabkan penemuan-penemuan banyak sumber baru dan perkembangan dalam bidang metodologi. Metodologi baru yang berkembang dalam studi hadis adalah dua pendekatan yang dapat dibedakan, yaitu:
1.      Analisis isnad[1] terhadap hadis-hadis ahad, dan ini merupakan alat penelitian yang sangat kuat.
Hadis ahad adalah suatu hadis yang diriwayatkan dengan satu jalan atau lebih, tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir.[2]
2.      Pendekatan yang fokus pada analisis teks (matan[3]) hadis yang dikembangkan melalui penyelidikan varian teks-teks hadis dan kombinasi pendekatan analisis teks dan analisis isnad.[4]
Kita dapat mengetahui bahwa problem otentisitas hadis telah menjadi perbincangan di kalangan sarjana modern. Hal ini juga menjadi bahan perdebatan di kalangan sarjana Muslim klasik. Sarjana Barat, Gustav Weil menyatakan bahwa jumlah yang sangat besar dari hadis perlu dilihat secara mencurigakan. Joseph Schacht berpendapat bahwa sejauh hadis yang sah diperhatikan, hadis-hadis itu diasumsikan merupakan hadis palsu kecuali jika kita dapat membukuktikan kebalikannya.[5]
Jadi, model kajian terhadap studi hadis sangatlah merumitkan dan penuh dengan tantangan. Model kajiannya ada dua macam yaitu, studi hadis dengan menganalisis isnad (sanad), dan studi hadis dengan menganalisis teks (matan) hadis. Sehingga dengan dua model kajian tersebut akan diketahui hadis mana yang sah (sahih), ahad dan dhoif.

B.     Metodologi Kajian Hadis (Sarjana Barat dan Sarjana Timur)
Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana hadis Barat bersandar pada perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi Islam secara keseluruhan. Perbedaannya adalah:
1.      Menurut Sarjana Timur
Azami berpendapat, sikap Muslim tradisional terhadap hadis dapat dilihat sebagai berikut:
“...Sunnah, atau hadis Nabi...merupakan sumber utama kedua dalam hukum Islam, benar selamanya, dan kehidupan Nabi merupakan teladan yang harus diikuti oleh Muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alasan ini, para sahabat, bahkan yang hidup pada masa Nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh Nabi sendiri.”
Dengan kata lain, hadis memiliki peran utama dalam Islam. Pandangan tradisional mengenai cara-cara untuk memelihara hadis pada masa para sahabat yaitu menurut Anas bin Malik, seorang pembantu Nabi, bahwa para sahabat duduk bersama Nabi sekitar 60 orang dan Nabi mengajarkan hadis. Kemudian para sahabat menghafalkan hadis hingga tertanam dalam jiwa mereka. Bagi sarjana Muslim yang yakin bahwa Islam telah ditegakkan oleh Allah yang Maha Mengetahui melalui seorang Nabi yang ma’sum, secara keseluruhan dapat diterima akal bahwa Muhammad saw. sangat memperhatikan bentuk agamanya yang akan dielaborasi secara penuh beberapa abad kemudian.
Bagi sarjana Barat, tidaklah masuk akal bahwa hadis, cerita-cerita dan perkataan-perkataan Muhammad saw. diakui dan dikumpulkan sebagai hadis dalam arti teknis sudah ada pada masa Nabi hidup. Setelah Nabi wafat, para sahabat mencari petunjuk dalam menghadapi situasi baru, seperti perluasan wilayah Islam, mencari petunjuk bagi keimanan Islam mereka yang baru. Karena dengan mencari petunjuk keimanan yang baru, maka muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka contoh-contoh dari kehidupan Muhammad dilihat kembali dan tidak selalu akurat. Upaya mengumpulkan jawaban dari kehidupan nabi ini kemudian diformalkan menjadi sunnah atau hadis yang terdiri dari ribuan hadis, yang sebagian benar-benar menjelaskan kata-kata dan perbuatan Nabi dan sebagian lainnya tidak.[6]
Dalam mengetahui apakah suatu hadis itu otentik atau tidak, maka ada beberapa hal atau kriteria yang harus dipenuhi. Kriteria utama untuk menentukan keaslian hadis adalah dengan penilaian terhadap isnad, diantaranya:
a.       Apakah seluruh rantainya saling berhubungan. Tidak boleh ada periwayat yang tidak punya nama, dan semua periwayat harus bersinggungan dengan waktu hidup periwayat lainnya, atau dalam satu tempat bersama periwayat lainnya ketika mendengarkan hadis dan menyampaikannya.
b.      Karakter moral dan rantai periwayatnya, apakah mereka jujur, tidak berbuat dusta dan membuat hadis palsu.[7] Telah menjadi konsesus (ijma’) ulama Ahussunnah wal Jamaah, bahwa seorang rawi (orang yang meriwayatkan hadis) haruslah ’adil (kompeten), dhabith (teliti), tsiqqah (cermat), tidak mudallis (berbohong), dan memiliki kemampuan menghafal yang kuat.[8]
Pada masa Ibn Mubarak, seorang muhaddis harus memiliki 4 kriteria bagi seorang periwayat yang berperilaku benar (‘adl), diantaranya:
a.       Ia harus beribadah secara berjama’ah
b.      Tidak minum anggur
c.       Tidak berkata bohong
d.      Tidak menderita penyakit mental.[9]
Akhirnya, standar yang ditetapkan untuk menilai periwayat hadis ada sekitar 12. Dengan hal ini, dibagi dalam dua kelompok yaitu hadis Maqbul dan hadis mardud.[10] Hadis maqbul adalah hadis yang diterima dan hadis mardud adalah hadis yang ditolak.[11]
Adapun dari segi matan, para ulama telah menyebut istilah-istilah dan kaidah untuk mengetahui hadis yang shahih, hasan, do’if dan maudhu’.
2.      Menurut Sarjana Barat
Para sarjana barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode untuk menentukan otentisitas hadis berdasarkan isnad. Mereka memiliki alasan untuk meragukan adanya hadis-hadis yang tidak berasal dari Nabi karena hadis-hadis itu bicara tentang persoalan yang muncul setelah Nabi wafat. Banyak sarjana Barat melihat matan selakigus isnad untuk menentukan keaslian suatu hadis, begitu pula mereka menentukan bukti ketidakaslian suatu hadis berdasarkan isnad dan matannya. Sebagian mereka memandang bahwa isnad kadang-kadang “tumbuh belakangan”. Asumsi sarjana Barat adalah bahwa karena pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu kritik hadis menjadi lebih canggih, yang menuntut suatu hadis memiliki asal-usul dari Nabi sendiri.

C.     Kajian Sarjana Muslim Modern
Kajian para sarjana Muslim Modern berkaitan dengan persoalan kritik teks yang pada akhirnya dapat meragukan beberapa catatan tentang hadis. Diantara mereka adalah M. Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad Adham. Kritik yang mereka ungkapkan adalah:
1.      Rashid Ridha membahas kritik matan hadis. Ia mempersoalkan beberapa hadis yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim.
2.      Mahmoud Abu Rayyah membahas bahwa metode penelitian dan kajian hadis tidak dapat berubah dan ilmu riwayat menjadi kaku sejak awal-awal Islam dan tidak mau berubah.
3.      Ahmad Amin membahas masalah para sarjana yang meletakkan berbagai aturan yang sangat hati-hati untuk mengkritik dan menilai hadis yang terlampau rinci. Namun, intinya metode mereka lebih memerhatikan untuk menilai periwayat daripada riwayatnya itu sendiri.
4.      Ismail Ahmad Adham, mengatakan bahwa para sarjana hadis dan kritik mereka tidak mengarahkan pada kritik teks yang dilakukan secara ilmiah. Ini menggambarkan keraguan tentang karakter para periwayat hadis termasuk sahabat.
Kajian dari empat sarjana Muslim diatas memperoleh respon dan reaksi dari beberapa sarjana Muslim lainnya. Muhammad Abdur Rauf, mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan tentang karya klasik hadis dan para periwayat yang terhormat telah dilakukan oleh penulis modern Abu Rayyah. Ratusan halaman ditulis untuk mempertahankan sunnah dari para penolaknya.
As-Siba’i menyebutkan mislanya, 15 kriteria yang dikemukakan oleh para kritikus hadis awal untuk memisahkan hadis-hadis otentik dari yang palsu dengan memperhatikan matannya. Misalnya, hadis tidak bertentangan dengan prinsip fundamental akal, prinsip-prisip umum kearifan dan moralitas, makna-makna yang diketahui melalui pengamatan langsung, atau prinsip-prinsip fundamental pengobatan. Hadis-hadis tidak boleh berisi pernyataan yang rancu atau bertentangan dengan Al-Qur’an.
Abu rauf juga mengkritik klaim kaum orientalis dan menyatakan bahwa tujuan utama meneliti isnad adalah memelihara kredibilitas matan. Karena itu, para muhaddisuan awal mengumpulkan hadis dengan hati-hati dan menolak menerima hadis-hadis yang bertentangan dengan akal.
Sementara itu, Syekh Muhammad Al-Ghazali mencatat dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut:
1.      Matan harus bebas dari syuzus, yakni bertentangan dengan sumber yang lebih terpercaya.
2.      Matan harus bebas dari cacat serius (‘illah qabihah).
Dengan demikian, sebenarnya para muhadisun awal telah memberikan tekanan pada isnad pada saat melakukan kritik hadis, dan mereka telah mengabaikan kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliru. Karena pada faktanya, para muhaddisun telah mengupanyakan kritik hadis baik dari sisi isnad dan matannya.[12]
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al-Qur’an. Di dalam pembahasan metodologi dan kritik ilmu hadis, maka kita kan menemukan beberapa kaidah yang menyebutkan adanya model-model studi hadis, dan ilmu atau cara untuk mengetahui suatu hadis itu otentik dari sumbernya yaitu Muhammad saw. atau tidak otentik (hadis palsu). Banyak sekali kritik-kritik tentang hadis yang dilontarkan oleh para sarjana Muslim dan juga para sarjana Barat. Model dalam kritik hadis ada dua, yaitu dengan analisis isnad dan analisis matannya. Tetapi yang paling utama adalah mengenai analisis isnadnya.
B.     Penutup
Sekian makalah yang dapat saya buat, saya sangat menyadari keterbatasan saya sebagai manusia yang tentunya berpengaruh pada hasil karya saya. Oleh karena itu, apabila karya saya ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, saya mohon maaf yang seikhlasnya kepada segenap pembaca. Semoga makalah saya ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan para pembaca dan saya juga berharap makalah ini dapat diterima sebagai pemenuhan nilai tugas dan pembelajaran. Terima kasih atas perhatian dan partisipasinya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.



DAFTAR ISI
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam Pendekatan Dan Metode. Yogyakarta:Insan Madani.
Husnan, Ahmad. 1980. Gerakan Inkaru As-Sunnah Dan Jawabannya. Jakarta:Media Dakwah.
Fayyad, Mahmud Ali. 1997. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. Bandung:CV Pustaka Setia.




[1] Isnad adalah pemberitaan rawi tentang tentetan rawi (yang meriwayatkan) yang dijadikan sandaran dalam periwayatan hadis.
[2] Ahmad Husnan, Gerakan Inkaru As-Sunnah Dan Jawabannya, (jakarta: Media Dakwah, 1980), hlm.107.
[3] Matan adalah materi hadis yang berada diujung sanad.          
[4]Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam Pendekatan Dan Metode, (Yogyakarta:Insan Madani, 2011), hlm. 99-100.
[5] Ibid. hlm. 100-101.
[6] Ibid. hlm. 104-105.
[7] Ibid. hlm. 107.
[8] Kholili, Metodologi Ulama Dalam Mengkritik Hadis, 2009. http: www.google.com
[9] Zakiyudiin Baidhawy. Op.cit. hlm. 107.
[10] Ibid. hlm. 108.
[11] Ahmad Husnan, op.cit. hlm. 107.
[12] Ibid. hlm. 110-114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar