Minggu, 30 Maret 2014

Sunni

KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr. wb. Alhamdulillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah kami sanggup menyelesaikan makalah tentang “Pemikiran Hukum Isalm sunni(ahlu sunnah wal jamaah)” ini dengan lancar. Makalah ini disusun selain guna memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca mengenai pemikiran-pemoikiran sunni(ahlu sunah wal jamaah). Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang hal tersebut. Sumbangan tulisan dan pemikiran dari teman-teman kelompok dalam penyusunan makalah ini adalah andil besar dalam terselesainya makalah Tarikh Tasyri ini. Untuk itu ucapan terimakasih kami persembahkan kepada teman-teman atas segala pemikirannya. Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR. Salatiga, Maret 2014 Penulis   BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ahli sunnah merupakan madzhab terbesar yang dianut oleh umat islam yang dikenal dengan sebutan sunni. Ahlisunnah wal jamaah di definisikan sebagai segala sesuatu yang dinukilkan dari nabi muhammad secara khusus dan tidak terdapat nashnya dala al-qur’an, tetapi dinyatakan oleh nabi dan merupakan penjelasan isi al-quran pertaa kali. B. RUMUSAN MASALAH 1. Mengetahui pengertian Ahlussunah wal Jamaah 2. Mengetahui sejarah dan perkembangan Ahlussunah wal Jamaah 3. Mengetahui corak pemikiran Ahlussunah wal Jamaah C. TUJUAN 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri. 2. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ahlussunah wal Jamaah 3. Memahami arti penting ahlusunnah wal Jamaah BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Sunni) 1. Pengertian menurut bahasa Ahlus Sunnah merupakan madzhab terbesar yang dianut oleh umat Islam yang dikenal dengan sebutan sunni. Ahlus sunah wal jama’ah terbentuk dari tiga kata dasar yakni Ahl, al-Sunnah dan al-Jama’ah. Ahl berarti famili, kerabat dan pengikut aliran. Al-Sunnah berarti perilaku dan jalan. Al-Jama’ah berarti kelompok atau perhimpunan. 2. Pengertian menurut istilah Al-Sunnah adalah segala sesuatu yang dirujukkan kepada perilaku atau jalan yang ditempuh atau dinukilkan oleh Nabi SAW secara khusus dan tidak terdapat nash-nya dalam Al-Qur’an, tetapi dinyatakan oleh Nabi SAW dan merupakan penjelasan isi al-Qur’an pertama kali. Akan tetapi, dalam konteks ini yang diterima dan dipahami oleh masyarakat bukan hanya terbatas pada perilaku yang dirujukkan Nabi, melainkan juga kepada sahabat Nabi. Karena para sahabat adalah golongan manusia yang bersama-sama Nabi Saw berjuang menegakkan panji agama. Al-Jam’ah adalah golongan yang berkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir dan memiliki sifat keteladanan yang sempurna berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jama’ah adalah suatu golongan mayoritas kaum muslimin yang mengklaim sebagai pengikut Nabi SAW dan menerima konsensus (ijma’) para sahabat. Inilah pengertian dari ahlus sunnah wal jama’ah (sunni). Aswaja sebenarnya secara substansial berkaitan dengan masalah al-ushul (prinsip-prinsip ajaran) dan tidak berkaitan dengan masalah furu’(cabang-cabang/detailering). Demikian juga halnya dengan pengertian firqoh-firqoh (kelompok) yang disebut dalam sebuah hadis sebanyak 73 firqoh tersebut, tidak lebih dari konteks ke-ushulan ini dalam masalah aqidah bukan fiqhiyyah. B. Sejarah Perkembangan ASWAJA Sejak terbunuhnya Usman bin Affan pada tahun 35 H, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh mayoritas kaum muslimin, ternyata telah menimbulkan protes keras dari Mu’awiyah Ibnu Abu Sufyan. Protes kedua dilancarkan oleh Aisyah, Talhah, dan Zubair. Mereka menuduh Ali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman. Akhirnya hal itu mengakibatkan terjadinya Perang Siffin, dan kemudian Perang Jamal. Dalam Perang Siffin, pasukan Mu’awiyah terjepit, lantas mereka mengajukan usulan agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan melalui arbitrasi (perundingan). Srategi ini sangat menguntungkan Mu’awiyah dan cukup efektif untuk memecah belahkan pasukan Ali. Terbukti pasukan Ali kemudian pecah menjadi dua kelompok, yaitu yang setuju dan tidak setuju terhadap perundingan. Yang tidak setuju terhadap perundingan tersebut menginginkan agar pertempuran dilanjutkan sampai diketahui yang menang dan yang kalah. Akhirnya kelompok yang kontra terhadap perundingan tersebut keluar dari barisan Ali, dan kemudian populer dengan sebutan Khawarij. Pada periode ini telah muncul tiga partai besar, yaitu partai Ali, Mu’awiyah, dan Khawarij. Munculnya corak-corak keagamaan yang lebih bernuansa politik mengakibatkan trauma disebagian kaum muslimin. Trauma tersebut menjurus kepada sikap kenetralan, khususnya bagi warga Madinah. Mereka mendalami agama berdasarkan al-Qur’an dan ingin mempertahankan tradisi (al-Sunnah). Kaum netralis ini ternyata ditendang oleh penguasa Umayyah, meskipun mereka juga sering melakukan oposisi moral kepada rezim Damaskus. Pada tahap berikutnya, terjadi proses penggabungan dan penyatuan golongan al-jama’ah (para pendukung Mu’awiyah) dan golongan as-sunah (para netralis politik Madinah), dan kelak melahirkan golongan yang dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Faktor yang melatarbelakangi munculnya paham Aswaja adalah karena konflik golongan saat itu. Pada dasarnya golongan ini sering mengklaim sebagai pelanjut secara alami dari jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Ahlus sunnah wal jama’ah sesungguhnya bukanlah madzhab, melainkan hanya sebuah manhaj al-fiker (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan para muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Dalam sejarah pemikiran Islam, term Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul secara populer setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), mengajukan gagasan “Kalam”nya atau teologi yang antitesis terhadap pikiran-pikiran Mu’tazilah. Atau upaya untuk mencari identifikasi paham Aswaja itu mulai masuk ke wilayah teologi (kalam). Di lihat dari aspek teologi, paham Aswaja sering dikonotasikan dengan teologi Asy’ari dan Maturidi (berpikir tradisionalis). Sedangkan teologi Mu’tazilah (berpikir rasionalis) dipandang sebagai berada di luar paham Aswaja. Jika identitas kemazdhaban diukur berdasarkan sejauh mana konsistensi mereka dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk tidak mengatakan bahwa teologi Mu’tazilah bukanlah teologi Aswaja. Pemikiran-pemikiran teologis kedua tersebut berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis, dengan berpegang pada sunnah Muhammad saw. karena itu Aswaja sering diidentifikasikan dengan Asy’ariisme-Maturidiisme. Istilah Aswaja sering dikaitkan dengan Hadis Nabi saw. tentang kelompok-kelompok kaum muslimin yang terpecah menjadi 73 golongan. Nabi mengatakan bahwa semua kelompok tersebut akan masuk neraka kecuali satu, yaitu: “ma ana ‘alaih wa ashhabi” (tradisi saya dan sahabat-sahabat saya). Paradigma dan pikiran-pikiran Asy’ari dan Maturidi oleh para pengikutnya lalu diklaim sebagai ahlus sunnah dan dikonotasikan seperti yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw. Aswaja akhirnya menjadi sebuah doktrin keagamaan yang berhadapan secara tajam dengan kelompok-kelompok lain: Syiah, Khawarij dan terutama Mu’tazilah. Meskipun pada mulanya Aswaja Asy’ari-Maturidi hanya dipakai untuk kajian dan pemikiran teologi, para pengikutnya kemudian mengembangkannya dalam berbagai wacana keislaman yang lain: fikih, tasawuf, sosial-politik dan lain-lain. Hal ini menjelaskan bahwa Aswaja bukan saja dapat dipahami sebagai filosofi ma ana ‘alaih wa ashhabi. Diakui atau tidak Aswaja telah menjadi sebuah madzhab. Yaitu, sebuah aliran didalamnya memakai unsur manhaj (cara berpikir) dan doktrin yang dapat dibedakan dari madzhab lain, dengan Asy’ari dan Maturidi sebagai pelopornya. C. Corak Pemikiran Aswaja (Sunni) Dalam memaknai iman, aliran Aswaja berpendapat bahwa iman adalah kenyakinan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan pembuktian dengan perbuatan. Dalam konsep ketuhanan, Aswaja menetapkan bahwa tauhid meliputi rubbubiyah, uluhiyyah, asma dan sifat. Mengenai Al-Qur’an, Aswaja menyakini al-Qur’an sebagai kalam Allah, bukan makhluk seperti yang dinyakini Mu’tazilah. Aswaja menetapkan sumber pengambilan hukum di dasarkan pada Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Seseorang belum dikatakan Muslim apabila tidak menjalankan rukun Islam yang lima: membaca syahadah, halat (lima waktu), puasa (Ramadhan), zakat dan haji. Adapun dalam rukun Iman (Ushuluddin), Aswaja menetapkan bahwa seseorang dikatakan beriman apabila menyakini Allah sebagai Tuhannya, Iman kepada malaikat-malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, Iman kepada Nabi dan Rasul Allah, Iman kepada hari akhir (kiamat) dan iman kepada Qadha dan Qadar yang ditetapkan Allah. Jadi, corak pemikiran Aswaja adalah dengan menggunakan pemikiran tradisionalis, dimana corak ini berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. D. Aktualisasi Aswaja Ada tiga macam pendekatan untuk memahami dan mengaktualisasikan Aswaja, yaitu: 1. Pendekatan Doktrinal Memahami doktrin dan ajaran yang dirumuskan dalam kitab-kitab ilmu kalam sunni, maupun melalui diskusi, pengajian formal atau non formal. 2. Pendekatan historis Mensupremasikan dalil-dalil Naqli (ketetapan) dari pada dalil Aqli (akal), mempertahankan sikap tawassuth (tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim). Suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrim, misalnya antara kaum tekstual Mujassimah dengan rasionalisme Mu’tazilah. Dan tasamuh (toleran), selalu berusaha mencari konsensus dalam mewujudkan kemaslahatan umat selama tidak melanggar batasan syara’. 3. Pendekatan kultural Usaha pengembangan nilai-nilai dan sikap kemasyarakatan yang diberikan oleh aswaja. Banyaknya perbedaan pendapat antara imam-imam madzhab, tetapi itu tidak menjadikan mereka saling bermusuhan. Al-Syafi’i sendiri pernah tidak qunut waktu sembahyang subuh, waktu berada di Madinah demi menghormati kepada Imam Malik yang diakuinya sebagai gurunya. E. Golongan dalam Aswaja 1. Golongan Salafiyah Golongan ini menafsirkan Al-qur’an dan Hadist secara harfiah (tekstual), menolak ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama’ yang menafsirkan Al-qur’an secara batiniah, menyalahkan pendapat para fuqoha’ apabila tidak sesuai, dan memberantas praktik-praktik yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. 2. Golongan Khalaf Golongan ini masih bisa menerima ta’wil dan bersikap toleran terhadap kalangan sufi. PENUTUP Dari penjelasan diatas kami menyimpulkan bahwa ahlus sunnah wal jama’ah adalah suatu golongan mayoritas kaum muslimin yang mengklaim sebagai pengikut Nabi SAW dan menerima konsensus (ijma’) para sahabat. Inilah pengertian dari ahlus sunnah wal jama’ah (sunni). Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul secara populer setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), mengajukan gagasan “Kalam”nya atau teologi yang antitesis terhadap pikiran-pikiran Mu’tazilah. Atau upaya untuk mencari identifikasi paham Aswaja itu mulai masuk ke wilayah teologi (kalam). Di lihat dari aspek teologi, paham Aswaja sering dikonotasikan dengan teologi Asy’ari dan Maturidi (berpikir tradisionalis). Sedangkan teologi Mu’tazilah (berpikir rasionalis) dipandang sebagai berada di luar paham Aswaja. Jika identitas kemazdhaban diukur berdasarkan sejauh mana konsistensi mereka dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk tidak mengatakan bahwa teologi Mu’tazilah bukanlah teologi Aswaja. Pada mulanya Aswaja Asy’ari-Maturidi hanya dipakai untuk kajian dan pemikiran teologi, para pengikutnya kemudian mengembangkannya dalam berbagai wacana keislaman yang lain: fikih, tasawuf, sosial-politik dan lain-lain. Hal ini menjelaskan bahwa Aswaja bukan saja dapat dipahami sebagai filosofi ma ana ‘alaih wa ashhabi. Diakui atau tidak Aswaja telah menjadi sebuah madzhab. Yaitu, sebuah aliran didalamnya memakai unsur manhaj (cara berpikir) dan doktrin yang dapat dibedakan dari madzhab lain, dengan Asy’ari dan Maturidi sebagai pelopornya. DAFTAR PUSTAKA Alaena, Badrun . 2000, NU, kritisisme dan pergeseran makna aswaja Yogyakarta, PT. Tiara wacana Baehaqi, Imam. 2000, kontroversi aswaja Yogyakarta, LkiS Yogyakarta Sahidin, Ahmad. 2009, aliran-aliran dalam islam, Bandung , PT.Salamadani pustaka semesta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar