Jumat, 12 Desember 2014

KONSEP LAYANAN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PEMBAHASAN KONSEP LAYANAN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS A. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka berbeda dengan anak pada umumnya. Pada mulanya, pengertian anak berkebutuhan khusus adalah anak cacat (difabel), baik cacat fisik maupun cacat mental. Anak-anak yang cacat fisik sejak lahir, seperti tidak memiliki kaki atau tangan yang sempurna, buta warna, atau tuli termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pengertian anak berkebutuhan khusus demikian berkembang menjadi anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal. Pengertian anak berkebutuhan khusus tersebut akhirnya mencakup anak yang berbakat, anak cacat, dan anak yang mengalami kesulitan. Dalam hal lain yang termasuk anak berkebutuhan khusus antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar gangguan perilaku, anak berbakat serta anak dengan gangguan kesehatan. Mengingat karakteristik dan hambatan yang dimilikinya, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus. Yakni, pola pembelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Bagi tunanetra misalnya, mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuhan khusus biasanya mengikuti program pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Keberadaan masing-masing SLB sudah disesuaikan dengan kekhususan masing-masing ABK. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita dan lain sebagainya. Jadi, anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan yang terpadu dan disesuaikan dengan hambatan yang dimilikinya, sehingga pelayanan pendidikan bagi ABK dapat berfungsi dengan efektif dan efisien serta bermutu. B. Konsep Layanan Anak Berkebutuhan Khusus Konsep layanan memiliki arti yang sama meskipun dalam konteks kegiatan yang berbeda, yaitu suatu jasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam beberapa terminologi, Istilah layanan diartikan sebagai (1) cara melayani; (2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang); (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli jasa atau barang. Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu: 1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer) Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperkosa, sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat, bisa jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus tetapi cukup dilayani di sekolah umum biasa. 2. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen) Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal serta akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan iteraksi-komunikasi, gangguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain, anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen sama artinya dengan anak penyandang kecacatan (difabel). Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanen (penyandang cacat). Oleh karena itu, apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Maka dari itu, konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan Pendidikan Luar Biasa yang hanya menyangkut anak penyandang cacat. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa konsep anak berkebutuhan khusus dibagi menjadi dua, yaitu: anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen). C. Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus dan Layanan Pendidikan 1. Tunanetra Tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan pada indra penglihatan. Pada dasarnya, tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta total (blind) dan kurang penglihatan (low vision). Buta total bila tidak dapat melihat dua jari di mukanya atau hanya melihat cahaya yang lumayan dapat dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak bisa menggunakan huruf lain selain huruf braille. Sedangkan yang disebut low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya. Untuk membantu low vision maka harus menggunakan kacamata atau kontak lensa. Anak tunanetra membutuhkan latihan khusus yang meliputi, latihan membaca dan menulis huruf braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta melakukan latihan visual atau fungsional pada penglihatannya. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu suatu sistem yang terpisah dari anak yang masih memilki penglihatan yang masih bagus dan integrasi atau terpadu dengan normal di sekolahan umum lainnya. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi meliputi sekolah khusus, yaitu SLB-A, SLB-B dan lainnya. Strategi proses pembelajaran memilki kesamaan dengan strategi pembelajaran anak pada umumnya. Tetapi, ketika dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi agar sesuai dengan anak yang melakukan pembelajaran dengan menggunakan sistem indranya yang masih berfungsi dengan baik sebagai sumber pemberi informasi. 2. Tunarungu Tunarungu adalah kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indra pendengaran. Pada anak tunarungu, ketika dia lahir dia tidak bisa menangis. Anak tunarungu juga mengalami kesulitan berbicara, karena fungsi pendengarannya yang tidak berfungsi. Agar dapat berkomunikasi dengan orang lain, maka harus menggunakan bahasa isyarat. Anak yang tunarungu bisa diberikan pendidikan berupa keterampilan supaya aman, menjadi bagian dari masyarakat, dan dapat menjadi seorang yang mandiri. Mereka harus berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat atau berbicara dengan menggunakan ejaan huruf isyarat. Yang paling penting adalah bagaimana mebuat nyaman berada di lingkungan (sekolah, keluarga dan masyarakat). Layanan bagi anak yang tunarungu adalah sekolah yang di dalamnya menyertakan guru pendamping yang berlatarbelakang Pendidik Luar Biasa (PLB), berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah, lingkup sekolah inklusi harus kondusif dan sarana prasarana yang mendukung bagi ABK. Pembelajaran yang paling penting terhadap anak yang tunarungu adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa dapat diperoleh melalui percakapan. 3. Tunagrahita Tunagrahita adalah individu yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata/ratardasi mental. Ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita harus membutuhkan perhatian yang lebih dalam pengenalan dan pemahaman akan suatu materi. Layanan pendidikan bagi tunagrahita diantaranya mendapatkan kelas transisi yaitu salah satu kelas persiapan dan pengenalan pengajaran, memerlukan sekolah khusus/SLB dan dengan tenaga pendidikan khusus, dan mendapatkan pendidikan terpadu serta panti rehabilitasi. 4. Tunadaksa Tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang yang memilki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh. Antara anak normal dan tunadaksa, memilki peluang yang sama untuk melakukan aktualisasi diri. Hanya saja banyak orang yang meragukan kemampuannya. Ada beberapa penggolongan tunadaksa, yaitu tunadaksa golongan murni (umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, penyakit lumpuh/polio) dan tunadaksa golongan kombinasi (mengalami gangguan mental). Sistem layanan pendidikan bagi tunadaksa tersebut bervariasi, mulai dari sistem pendidikan reguler sampai pendidikan yang diberikan di suatu rumah sakit. Model pelayanan bagi tunadaksa dibagi menjadi dua kategori, yaitu “sekolah khusus” dan “sekolah terpadu”. Sekolah khusus dipergunakan bagi anak yang mengalami masalah intelektualnya, seperti retardasi mental/kesulitan gerakan dan emosinya. Sedangkan sekolah terpadu dipergunakan bagi anak tunadaksa yang memiliki intensitas masalah yang relatif ringan dan tidak disertai problem penyerta. Dengan kata lain, pelayanannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di sekolah reguler. 5. Tunalaras Tunalaras adalah sebutan untuk orang yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Biasanya anak yang mengalaminya memilki ciri berani melanggar peraturan, mudah emosi dan suka melakukan tindakan agresif. Anak tunalaras biasanya di sekolahkan di Sekolah Luar Biasa C. Namun, anak tunalaras bisa saja belajar di sekolah umum. Dengan kata lain, mereka dibiarkan membaur dengan anak normal lainnya. Kelas khusus diberikan ketika mereka benar-benar tidak bisa bersatu dengan lingkungan sosial. Pengembangan pendidikan sebaiknya paralel atau dikaitkan dengan mengintensifkan usaha bimbingan penyuluhan di sekolah reguler. Caranya dengan pendidikan jasmani adaptif, yaitu suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan, dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. 6. Autis Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang didapatkannya sejak lahir atau masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat berhubungan sosial atau komunikasi secara normal. Autis berhubungan dengan sistem persarafan yaitu anak yang mengalami hambatan perkembangan otak, terutama pada area bahasa, sosial dan fantasi. Anak autis seakan memiliki dunianya sendiri tanpa memperhatikan lingkungannya. Gejala yang tampak dari anak autis adalah berperilaku hiperaktif dan agresif, menyakiti diri sendiri dan ada juga yang bersifat pasif. Dalam layanan pendidikan untuk anak autis harus disesuaikan dengan usia dari anak tersebut, kemampuan yang dia miliki, hambatan yang dimilki anak ketika belajar, serta gaya belajarnya pada masing-masing anak. Metode yang biasanya diberikan adalah bersifat kombinasi dari beberapa metode. Biasanya menggunakan alat bantu (stimulus visual). Pada bulan-bulan pertama proses belajar ini, sebaiknya anak terlebih dahulu didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai seorang guru pembimbing khusus dalam proses pendidikannya tersebut. Suasana belajar yang tepat bagi anak autis adalah sesuai dengan kemampuan anak dan gaya belajar. Pada umumnya anak autis akan mendapatkan hasil yang baik apabila dibaurkan dengan anak-anak normal maupun anak yang memiliki kebutuhan khusus lainnya. Materi yang diajarkan untuk anak autis adalah seperti latihan untuk berkomunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), keterampilan bantu diri, keterampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak, serta tingkat intelegensi pada setiap anak. 7. Down syndrome Merupakan salah satu bagian dari tunagrahita dan kelainan kromosom. Cirinya tampak nyata dilihat dari fisik penderita, misalkan tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil dan lainnya. Anak down syndrome harus mendapatkan pendidikan tambahan. Anak-anak ini bisa menunjukkan kemajuan yang pesat jika mereka bisa diterima dengan baik di masyarakat, tidak hanya dalam keluarga. Pada dasarnya layanan pendidikan bagi mereka adalah menimbulkan semangat dalam belajar. Mereka juga harus mendapatkan pembelajaran akademis dari anak-anak yang lain, misalkan membaca dan menulis. Jadi, setiap anak yang termasuk dalam anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan perhatian yang lebih dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang luar biasa, kerenanya mereka memerlukan layanan yang lebih/khusus terhadap anak normal kebanyakan. Layanan yang harus didapat dari ABK salah satunya adalah layanan pendidikan, karena dengan layanan pendidikan yang baik dan terpadu akan menghasilkan anak yang andal serta dapat diterima di dalam kehidupan kemasyarakatan. D. Prinsip-Prinsip Umum dalam Pendidikan ABK Terdapat delapan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak: 1. Prinsip motivasi Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada anak dengan cara personal agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar. 2. Prinsip latar/konteks Adanya sebuah pengenalan antara guru dan muridnya, sehingga mempertahankan sebuah kelancaran dalam sebuah proses pencarian jati diri anak tersebut. Dengan kata lain adanya kedekatan antara guru dan muridnya. 3. Prinsip keterarahan Setiap anak akan mengikuti kegiatan secara mendalam, guru harus merumuskan secara matang tujuan kegiatan pembelajaran secara jelas, beserta alat dan bahan ajar harus sesuai dengan kategori ABK. 4. Prinsip hubungan sosial Guru harus dapat mengembangkan setiap strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dan muridnya. Hubungan murid dengan sesama murid, guru dan murid serta lingkungan, dan interaksi yang berasal dari berbagai arah. 5. Prinsip belajar sambil bekerja Guru harus memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri praktik atau percobaan dan menemukan sesuatu melaui pengamatan serta lainnya. 6. Prinsip individualisasi Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi. 7. Prinsip menemukan Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlihat secara aktif, baik fisik, mental, sosial dan emosional. 8. Prinsip pemecahan masalah Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan yang ada di lingkungan sekitar dan anak dilatih untuk mencari data, menganalisis, dan memecahkan masalah sesuai dengan kemampuannya. Delapan prinsip di atas harus dilaksanakn oleh tenaga pendidik atau guru pembimbing dalam proses pembelajaran dengan ABK. Sehingga apabila delapan prinsip tersebut terlaksana dengan baik, maka akan terciptanya output yang baik pula dari para ABK. E. Fasilitas Pendidikan Bagi ABK Pendidikan untuk ABK mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan pihak terkait. Lokakarya nasional di Bandung, 8-14 Agustus 2004 menyepakati program pendidikan sebagai bagian dari proses menuju hidup inklusif bagi ABK. Kesepakatan tersebut didasari atas kenyataan bahwa eksistensi anak berkebutuhan khusus di Indonesia mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan. Hak-hak anak tesebut juga telah dijamin oleh UUD 1945. Regulasi yang menyangkut hak dan kewajiban ABK secara umum meliputi pemenuhan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) dan diperjelas oleh Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk semua (1990), Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), UU Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar, UU RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003), dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004). Pada intinya, sistem regulasi itu memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkelainan dan berkebutuhan khusus lainnya dalam memperoleh pendidikan yang bermutu dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah serta segenap pihak terkait harus menyediakan pendidikan bagi ABK yaitu pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah salah satu aspek guna mempersiapkan ABK menjadi generasi penerus yang andal. Guna merealisasikan harapan bagi terciptanya generasi andal dari kalangan ABK, diperlukan upaya penyelenggaraan dan pengembangan dalam mengelola pendidikan inklusif. Dalam hal ini, ada lima fasilitas pendidikan yang harus dipenuhi bagi ABK, diantaranya: 1. Memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat tanpa perlakuan diskriminatif 2. Meberikan fasilitas ruang publik yang menjamin dan memenuhi kebebasan anak untuk berinteraksi secara reaktif maupun proaktif. Seperti institusi pendidikan bagi ABK yaitu SLB (Sekolah Luar Biasa) 3. Merealisasikan harapan bagi terciptanya generasi andal dari kalangan ABK 4. Menyiapkan sumber daya kependidikan (SDM) 5. Mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Jaminan pemenuhan hak pendidikan bagi ABK juga ditekankan dalam UU Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, meliputi jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminatif. Sehingga penyelenggaraan pendidikan formal tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan ABK dan masyarakat umum. Orangtua dapat mendaftarkan ABK ke sekolah umum demi tercapainya pendidikan inklusi. UU No. 4 tahun 1997 pasal 12 juga mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima para ABK sebagai siswa. Selain itu, melalui PP no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1, pemerintah mendorong terwujudnya pendidikan inklusi. Dengan kala lain, adanya fasilitas dan landasan hukum yang jelas dari negara, maka pendidikan bagi ABK sangat berguna dan harus dijalankan sesuai dengan peraturan yang sudah disepakati. F. Pendidikan Inklusi Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis. Pendidikan inklusi bertujuan mendorong terwujudnya partisipasi aktif dari warga negaranya yang berkemampuan berbeda (difabel) dalam kehidupan bermasyarakat. Serta pendidikan inklusi memiliki misi utama yaitu terbangunnya tatanan masyarakat inklusif (sebuah sistem kemasyarakatan yang dibangun dari spirit saling menghoramati dan menjujung tinggi nilai dan fakta keberagamaan dari relitas kehidupan). G. Faktor Penghambat Pendidikan Inklusi Bagi ABK 1. Letak geografis yang sulit dijangkau oleh ABK dari keluarga miskin 2. Institusi pendidikan bagi ABK seperti SLB di tiap-tiap provinsi tidak selalu mampu menampung keberadaan ABK 3. Ketidaksiapan pada sumber daya manusia (SDM) atau tenaga pendidik di lingkungan institusi pendidikan 4. Alat peraga dan simulasi untuk pendidikan inklusi lebih kompleks dibanding dengan alat peraga pendidikan formal. Dengan masih adanya faktor pengahmbat di atas, maka masih banyak yang harus dibenahi. Peran pemerintah dan elemen masyarakat atau stakeholder sangat penting dalam terwujudnya sekolah inklusi yang bermutu. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka berbeda dengan anak pada umumnya. Pada mulanya, pengertian anak berkebutuhan khusus adalah anak cacat (difabel), baik cacat fisik maupun cacat mental. Anak-anak yang cacat fisik sejak lahir, seperti tidak memiliki kaki atau tangan yang sempurna, buta warna, atau tuli termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pengertian anak berkebutuhan khusus demikian berkembang menjadi anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal. Pengertian anak berkebutuhan khusus tersebut akhirnya mencakup anak yang berbakat, anak cacat, dan anak yang mengalami kesulitan. Dalam hal lain yang termasuk anak berkebutuhan khusus antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar gangguan perilaku, anak berbakat serta anak dengan gangguan kesehatan. Konsep layanan memiliki arti yang sama meskipun dalam konteks kegiatan yang berbeda, yaitu suatu jasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Jaminan pemenuhan hak pendidikan bagi ABK juga ditekankan dalam UU Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, meliputi jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminatif. Sehingga penyelenggaraan pendidikan formal tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan ABK dan masyarakat umum. Orangtua dapat mendaftarkan ABK ke sekolah umum demi tercapainya pendidikan inklusi B. Penutup Sekian makalah yang dapat kami buat, kami sangat menyadari keterbatasan saya sebagai manusia yang tentunya berpengaruh pada hasil karya saya. Oleh karena itu, apabila karya saya ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, saya mohon maaf yang seikhlasnya kepada segenap pembaca. Semoga makalah saya ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan para pembaca dan saya juga berharap makalah ini dapat diterima sebagai pemenuhan nilai tugas dan pembelajaran. Terima kasih atas perhatian dan partisipasinya. Wassalamualaikum Wr.Wb. DAFTAR PUSTAKA http://enje14.wordpress.com/2013/10/31/122, di lihat tanggal 22 September 2014, pukul 09.00 wib. http://melyloelhabox.blogspot.com, dilihat tanggal 22 September 2014, pukul 14.00 wib. Santoso, Satmoko Budi. 2010. Sekolah Alternatif, Mengapa Tidak...?!. Yogyakarta: Diva Press. Smart, Aqila. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat. Yogyakarta: Katahati. Suyanto, Slamet. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat Publishing.

Minggu, 30 Maret 2014

Sunni

KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr. wb. Alhamdulillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah kami sanggup menyelesaikan makalah tentang “Pemikiran Hukum Isalm sunni(ahlu sunnah wal jamaah)” ini dengan lancar. Makalah ini disusun selain guna memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca mengenai pemikiran-pemoikiran sunni(ahlu sunah wal jamaah). Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang hal tersebut. Sumbangan tulisan dan pemikiran dari teman-teman kelompok dalam penyusunan makalah ini adalah andil besar dalam terselesainya makalah Tarikh Tasyri ini. Untuk itu ucapan terimakasih kami persembahkan kepada teman-teman atas segala pemikirannya. Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR. Salatiga, Maret 2014 Penulis   BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ahli sunnah merupakan madzhab terbesar yang dianut oleh umat islam yang dikenal dengan sebutan sunni. Ahlisunnah wal jamaah di definisikan sebagai segala sesuatu yang dinukilkan dari nabi muhammad secara khusus dan tidak terdapat nashnya dala al-qur’an, tetapi dinyatakan oleh nabi dan merupakan penjelasan isi al-quran pertaa kali. B. RUMUSAN MASALAH 1. Mengetahui pengertian Ahlussunah wal Jamaah 2. Mengetahui sejarah dan perkembangan Ahlussunah wal Jamaah 3. Mengetahui corak pemikiran Ahlussunah wal Jamaah C. TUJUAN 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri. 2. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ahlussunah wal Jamaah 3. Memahami arti penting ahlusunnah wal Jamaah BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Sunni) 1. Pengertian menurut bahasa Ahlus Sunnah merupakan madzhab terbesar yang dianut oleh umat Islam yang dikenal dengan sebutan sunni. Ahlus sunah wal jama’ah terbentuk dari tiga kata dasar yakni Ahl, al-Sunnah dan al-Jama’ah. Ahl berarti famili, kerabat dan pengikut aliran. Al-Sunnah berarti perilaku dan jalan. Al-Jama’ah berarti kelompok atau perhimpunan. 2. Pengertian menurut istilah Al-Sunnah adalah segala sesuatu yang dirujukkan kepada perilaku atau jalan yang ditempuh atau dinukilkan oleh Nabi SAW secara khusus dan tidak terdapat nash-nya dalam Al-Qur’an, tetapi dinyatakan oleh Nabi SAW dan merupakan penjelasan isi al-Qur’an pertama kali. Akan tetapi, dalam konteks ini yang diterima dan dipahami oleh masyarakat bukan hanya terbatas pada perilaku yang dirujukkan Nabi, melainkan juga kepada sahabat Nabi. Karena para sahabat adalah golongan manusia yang bersama-sama Nabi Saw berjuang menegakkan panji agama. Al-Jam’ah adalah golongan yang berkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir dan memiliki sifat keteladanan yang sempurna berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jama’ah adalah suatu golongan mayoritas kaum muslimin yang mengklaim sebagai pengikut Nabi SAW dan menerima konsensus (ijma’) para sahabat. Inilah pengertian dari ahlus sunnah wal jama’ah (sunni). Aswaja sebenarnya secara substansial berkaitan dengan masalah al-ushul (prinsip-prinsip ajaran) dan tidak berkaitan dengan masalah furu’(cabang-cabang/detailering). Demikian juga halnya dengan pengertian firqoh-firqoh (kelompok) yang disebut dalam sebuah hadis sebanyak 73 firqoh tersebut, tidak lebih dari konteks ke-ushulan ini dalam masalah aqidah bukan fiqhiyyah. B. Sejarah Perkembangan ASWAJA Sejak terbunuhnya Usman bin Affan pada tahun 35 H, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh mayoritas kaum muslimin, ternyata telah menimbulkan protes keras dari Mu’awiyah Ibnu Abu Sufyan. Protes kedua dilancarkan oleh Aisyah, Talhah, dan Zubair. Mereka menuduh Ali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman. Akhirnya hal itu mengakibatkan terjadinya Perang Siffin, dan kemudian Perang Jamal. Dalam Perang Siffin, pasukan Mu’awiyah terjepit, lantas mereka mengajukan usulan agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan melalui arbitrasi (perundingan). Srategi ini sangat menguntungkan Mu’awiyah dan cukup efektif untuk memecah belahkan pasukan Ali. Terbukti pasukan Ali kemudian pecah menjadi dua kelompok, yaitu yang setuju dan tidak setuju terhadap perundingan. Yang tidak setuju terhadap perundingan tersebut menginginkan agar pertempuran dilanjutkan sampai diketahui yang menang dan yang kalah. Akhirnya kelompok yang kontra terhadap perundingan tersebut keluar dari barisan Ali, dan kemudian populer dengan sebutan Khawarij. Pada periode ini telah muncul tiga partai besar, yaitu partai Ali, Mu’awiyah, dan Khawarij. Munculnya corak-corak keagamaan yang lebih bernuansa politik mengakibatkan trauma disebagian kaum muslimin. Trauma tersebut menjurus kepada sikap kenetralan, khususnya bagi warga Madinah. Mereka mendalami agama berdasarkan al-Qur’an dan ingin mempertahankan tradisi (al-Sunnah). Kaum netralis ini ternyata ditendang oleh penguasa Umayyah, meskipun mereka juga sering melakukan oposisi moral kepada rezim Damaskus. Pada tahap berikutnya, terjadi proses penggabungan dan penyatuan golongan al-jama’ah (para pendukung Mu’awiyah) dan golongan as-sunah (para netralis politik Madinah), dan kelak melahirkan golongan yang dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Faktor yang melatarbelakangi munculnya paham Aswaja adalah karena konflik golongan saat itu. Pada dasarnya golongan ini sering mengklaim sebagai pelanjut secara alami dari jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Ahlus sunnah wal jama’ah sesungguhnya bukanlah madzhab, melainkan hanya sebuah manhaj al-fiker (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan para muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Dalam sejarah pemikiran Islam, term Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul secara populer setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), mengajukan gagasan “Kalam”nya atau teologi yang antitesis terhadap pikiran-pikiran Mu’tazilah. Atau upaya untuk mencari identifikasi paham Aswaja itu mulai masuk ke wilayah teologi (kalam). Di lihat dari aspek teologi, paham Aswaja sering dikonotasikan dengan teologi Asy’ari dan Maturidi (berpikir tradisionalis). Sedangkan teologi Mu’tazilah (berpikir rasionalis) dipandang sebagai berada di luar paham Aswaja. Jika identitas kemazdhaban diukur berdasarkan sejauh mana konsistensi mereka dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk tidak mengatakan bahwa teologi Mu’tazilah bukanlah teologi Aswaja. Pemikiran-pemikiran teologis kedua tersebut berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis, dengan berpegang pada sunnah Muhammad saw. karena itu Aswaja sering diidentifikasikan dengan Asy’ariisme-Maturidiisme. Istilah Aswaja sering dikaitkan dengan Hadis Nabi saw. tentang kelompok-kelompok kaum muslimin yang terpecah menjadi 73 golongan. Nabi mengatakan bahwa semua kelompok tersebut akan masuk neraka kecuali satu, yaitu: “ma ana ‘alaih wa ashhabi” (tradisi saya dan sahabat-sahabat saya). Paradigma dan pikiran-pikiran Asy’ari dan Maturidi oleh para pengikutnya lalu diklaim sebagai ahlus sunnah dan dikonotasikan seperti yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw. Aswaja akhirnya menjadi sebuah doktrin keagamaan yang berhadapan secara tajam dengan kelompok-kelompok lain: Syiah, Khawarij dan terutama Mu’tazilah. Meskipun pada mulanya Aswaja Asy’ari-Maturidi hanya dipakai untuk kajian dan pemikiran teologi, para pengikutnya kemudian mengembangkannya dalam berbagai wacana keislaman yang lain: fikih, tasawuf, sosial-politik dan lain-lain. Hal ini menjelaskan bahwa Aswaja bukan saja dapat dipahami sebagai filosofi ma ana ‘alaih wa ashhabi. Diakui atau tidak Aswaja telah menjadi sebuah madzhab. Yaitu, sebuah aliran didalamnya memakai unsur manhaj (cara berpikir) dan doktrin yang dapat dibedakan dari madzhab lain, dengan Asy’ari dan Maturidi sebagai pelopornya. C. Corak Pemikiran Aswaja (Sunni) Dalam memaknai iman, aliran Aswaja berpendapat bahwa iman adalah kenyakinan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan pembuktian dengan perbuatan. Dalam konsep ketuhanan, Aswaja menetapkan bahwa tauhid meliputi rubbubiyah, uluhiyyah, asma dan sifat. Mengenai Al-Qur’an, Aswaja menyakini al-Qur’an sebagai kalam Allah, bukan makhluk seperti yang dinyakini Mu’tazilah. Aswaja menetapkan sumber pengambilan hukum di dasarkan pada Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Seseorang belum dikatakan Muslim apabila tidak menjalankan rukun Islam yang lima: membaca syahadah, halat (lima waktu), puasa (Ramadhan), zakat dan haji. Adapun dalam rukun Iman (Ushuluddin), Aswaja menetapkan bahwa seseorang dikatakan beriman apabila menyakini Allah sebagai Tuhannya, Iman kepada malaikat-malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, Iman kepada Nabi dan Rasul Allah, Iman kepada hari akhir (kiamat) dan iman kepada Qadha dan Qadar yang ditetapkan Allah. Jadi, corak pemikiran Aswaja adalah dengan menggunakan pemikiran tradisionalis, dimana corak ini berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. D. Aktualisasi Aswaja Ada tiga macam pendekatan untuk memahami dan mengaktualisasikan Aswaja, yaitu: 1. Pendekatan Doktrinal Memahami doktrin dan ajaran yang dirumuskan dalam kitab-kitab ilmu kalam sunni, maupun melalui diskusi, pengajian formal atau non formal. 2. Pendekatan historis Mensupremasikan dalil-dalil Naqli (ketetapan) dari pada dalil Aqli (akal), mempertahankan sikap tawassuth (tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim). Suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrim, misalnya antara kaum tekstual Mujassimah dengan rasionalisme Mu’tazilah. Dan tasamuh (toleran), selalu berusaha mencari konsensus dalam mewujudkan kemaslahatan umat selama tidak melanggar batasan syara’. 3. Pendekatan kultural Usaha pengembangan nilai-nilai dan sikap kemasyarakatan yang diberikan oleh aswaja. Banyaknya perbedaan pendapat antara imam-imam madzhab, tetapi itu tidak menjadikan mereka saling bermusuhan. Al-Syafi’i sendiri pernah tidak qunut waktu sembahyang subuh, waktu berada di Madinah demi menghormati kepada Imam Malik yang diakuinya sebagai gurunya. E. Golongan dalam Aswaja 1. Golongan Salafiyah Golongan ini menafsirkan Al-qur’an dan Hadist secara harfiah (tekstual), menolak ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama’ yang menafsirkan Al-qur’an secara batiniah, menyalahkan pendapat para fuqoha’ apabila tidak sesuai, dan memberantas praktik-praktik yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. 2. Golongan Khalaf Golongan ini masih bisa menerima ta’wil dan bersikap toleran terhadap kalangan sufi. PENUTUP Dari penjelasan diatas kami menyimpulkan bahwa ahlus sunnah wal jama’ah adalah suatu golongan mayoritas kaum muslimin yang mengklaim sebagai pengikut Nabi SAW dan menerima konsensus (ijma’) para sahabat. Inilah pengertian dari ahlus sunnah wal jama’ah (sunni). Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul secara populer setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), mengajukan gagasan “Kalam”nya atau teologi yang antitesis terhadap pikiran-pikiran Mu’tazilah. Atau upaya untuk mencari identifikasi paham Aswaja itu mulai masuk ke wilayah teologi (kalam). Di lihat dari aspek teologi, paham Aswaja sering dikonotasikan dengan teologi Asy’ari dan Maturidi (berpikir tradisionalis). Sedangkan teologi Mu’tazilah (berpikir rasionalis) dipandang sebagai berada di luar paham Aswaja. Jika identitas kemazdhaban diukur berdasarkan sejauh mana konsistensi mereka dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk tidak mengatakan bahwa teologi Mu’tazilah bukanlah teologi Aswaja. Pada mulanya Aswaja Asy’ari-Maturidi hanya dipakai untuk kajian dan pemikiran teologi, para pengikutnya kemudian mengembangkannya dalam berbagai wacana keislaman yang lain: fikih, tasawuf, sosial-politik dan lain-lain. Hal ini menjelaskan bahwa Aswaja bukan saja dapat dipahami sebagai filosofi ma ana ‘alaih wa ashhabi. Diakui atau tidak Aswaja telah menjadi sebuah madzhab. Yaitu, sebuah aliran didalamnya memakai unsur manhaj (cara berpikir) dan doktrin yang dapat dibedakan dari madzhab lain, dengan Asy’ari dan Maturidi sebagai pelopornya. DAFTAR PUSTAKA Alaena, Badrun . 2000, NU, kritisisme dan pergeseran makna aswaja Yogyakarta, PT. Tiara wacana Baehaqi, Imam. 2000, kontroversi aswaja Yogyakarta, LkiS Yogyakarta Sahidin, Ahmad. 2009, aliran-aliran dalam islam, Bandung , PT.Salamadani pustaka semesta

Kamis, 02 Januari 2014

PENDIDIKAN ISLAM DAN MASYARAKAT PLURAL



PENDIDIKAN ISLAM DAN MASYARAKAT PLURAL


 KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah kami sanggup menyelesaikan makalah tentang “Pendidikan Islam Dan Masyarakat Plural” ini dengan lancar.
Makalah ini disusun selain guna memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca mengenai pendidikan Islam dan masyarakat plural. Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang hal tersebut.
Sumbangan tulisan dan pemikiran dari teman-teman kelompok dalam penyusunan makalah ini adalah andil besar dalam terselesainya makalah ini. Untuk itu ucapan terimakasih kami persembahkan kepada teman-teman atas segala pemikirannya.
Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR.

Salatiga,  Desember 2013

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang unik, penuh dengan warna budaya, adat, agama, suku dan bahasa. Semua menjadi satu dalam simbol burung Garuda dan berkibar dalam satu bendera juga, yaitu sang saka merah putih. Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan memiliki usia kemerdekaan yang belum ada 1 abad lamanya, namun memiliki potensi sumber daya alam yang sangat melimpah. Yang seharusnya menjadi negara yang super makmur, memiliki kekayaan melimpah dan loh jinawi.
Dan yang perlu disorot adalah pendidikan, terutama pendidikan islam. Karena Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia. Dalam Islam mengajarkan mengenai long life education yang juga memiliki makna lain yaitu untuk selalu hidup berpindidikan.
Namun fakta lain mengatakan bahwa Islam di Indonesia memiliki perkembangan pendidikan yang lambat/lemah. Bahkan meskipun Islam menjadi agama mayoritas, namun minat masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam sangat minim. Ada yang mengatakan kalau Islam itu lambat karena kurang memiliki rasa humanis dan sebagian besar tokohnya masih menganggap pluralisme itu adalah sebuah kemusyrikan.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah makna Islam dan Pluralisme?
2.      Bagaimana cara penerapan pendidikan pluralisme?
3.      Bagaimana pendidikan Islam dalam tantangan pluralisme di Indonesia?
4.      Bagaimana pluralisme sosial dan hubungannya dengan pendidikan Agama di Indonesia?
5.      Apa sajakah kegagalan pendidikan Islam/nasional?
C.     TUJUAN
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam
2.      Agar memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pendidikan Islam dan masyarakat pluralisme
3.      Untuk memberikan wawasan kepada pembaca mengenai hubungan pendidikan Islam terhadap pluralisme.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam Dan Pluralisme
Islam telah menjadi doktrin menyejarah dalam pluralisme keagamaan. Pluralitas adalah gejala yang umum terjadi dalam kehidupan manusia, seperti pluralitas dalam berpikir, berperasaan, bertempat tinggal dan dalam berperilaku. Manusia yang satu dengan manusia yang lain berbeda-beda dalam pemikiran maupun kehidupan sosial ekonomi, budaya, politik serta kondisi geografisnya. Namun, sumber dari Islam hanya satu yaitu bersumber dari dan bersandar pada Allah yang satu.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 34, berbunyi:
Èe@à6Ï9ur 7p¨Bé& $oYù=yèy_ %Z3|¡YtB (#rãä.õuÏj9 zNó$# «!$# 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# 3 ö/ä3ßg»s9Î*sù ×m»s9Î) ÓÏnºur ÿ¼ã&s#sù (#qßJÎ=ór& 3 ÎŽÅe³o0ur tûüÏGÎ6÷ßJø9$# ÇÌÍÈ 
Artinya: “Untuk tiap-tiap umat Kami adakan cara peribadatan, supaya kamu menyebut nama Allah, atas binatang ternak yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Tuhan kamu ialah Tuhan Yang Maha Esa, sebab itu hendaklah kamu menyerahkan diri kepada-Nya dan sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang taat.”[1]
Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris, “pluralism” yaitu suatu kerangka interaksi tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan).[2] Pandangan Islam yang pluralis, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Islam pada dasarnya adalah agama yang toleran terhadap penganut agama lain. Islam sebagai agama rahmatan lil a’lamin (yang mendatangkan rahmat bagi alam semesta). Melalui hal tersebut, pluralitas agama dapat dikembangkan menjadi bagian dari proses pengayaan spiritual dan penguatan moralitas universal.
Pluralisme merupakan tantangan bagi agama-agama, sehingga pencarian titik temu (konvergensi) di antara agama-agama perlu dijadikan agenda. Islam, sebagaimana diungkapkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 256 dan surat Al-Kafirun ayat 6, secara normatif mengakui hak dan keberadaan pengikut agama lain atau para ahli kitab. Pengakuan itu merupakan prinsip utama doktrin Islam terhadap pluralisme agama dan sosial budaya sebagai sunnatullah (kehendak Tuhan).
Meskipun agama bersifat plural, tapi semuanya menuju pada satu kebenaran, yakni kebenaran Tuhan. Jadi, kebenaran juga bersifat plural. Bagi kalangan pluralis, semua agama mengandung kebenaran, sebab pada prinsipnya semua agama dan ilmu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Agama Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran dan tidak eksklusif terhadap agama lain.[3] Dan hal tersebut merupakan ajaran yang benar dan perlu dipertahankan dalam bersikap pluralisme atau sikap toleran terhadap agama lain selain agama Islam.
B.     Cara Penerapan Pendidikan Pluralisme
Dalam pendidikan, semua aspek kelembagaan dan proses belajar mengajarnya harus menerapkan sistem dan metode yang dapat menyembuhkan pluralisme serta mampu menggali sisi perdamaian dan toleransi. Oleh karenanya, diantara langkah yang ditempuh adalah dengan penentuan pendekatan dan metode. Pendekatan dan metode yang di kembangkan dalam pembelajaran pendidikan agama berbasis pluralisme seperti ini perlu diperhatikan adanya beberapa pendekatan yang dapat digunakan antara lain:
1.      Pembiasaan
Melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap dan perilaku yang baik, terutama sekali yang berhubungan dengan nilai seperti: tenggang rasa, toleransi, saling mengasihi dan tolong menolong.
2.      Rasional
Pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi dan nilai yang ditanamkan mudah di pahami dengan penalaran. Disisi lain pendekatan akademis cenderung menempatkan proses pendidikan agama pada orientasi objektif.
3.      Emosional
Upaya menggugah perasaan peserta didik dalam memahami realitas keanekaragaman budaya dan agama dalam masyarakat. Sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik untuk selalu menampilkan sikap tenggang rasa dan saling menghormati antara agama satu dengan yang lainnya.
4.      Fungsional
Memfungsikan ajaran masing-masing agama (termasuk agama islam) terutama tentang pentingnya menghargai perbedaan dengan menekankan segi manfaat dan hikmahnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dengan tingkat perkembangannya.[4]

C.     Pendidikan Islam Tantangan Pluralisme Di Indonesia
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, bukti-bikti sejarah sangat kaya tentang itu. Sebelum masuknya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen di indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki keyakinan terhadap kekuatan ghaib yang ada di sekitar mereka. Menurut keyakinan mereka kekuatan itu dapat mendatangkan manfaat dan menolak bencana, misalnya kekuatan roh dan kekuatan “mana” , kepercayaan itu disebut namanya dengan animisme dan dinamisme. Kepercayaan itu menunjukkan betapa tebalnya keyakinan masyarakat Indonesia terhadap kekuatan spiritual yang berada di luar diri mereka. Pandangan hidup religius itu menjadi sikap mental dan pribadi bagi seluruh rakyat Indonesia yang dengan demikian dijadikan falsafah kehidupan bangsa.
Pendidikan agama telah lama berlangsung di Indonesia, setidaknya setelah masuknya agama-agama yang datangnya dari luar Indonesia, misalnya agama Islam yang telah masuk pada abad pertama Hijrah ke Indonesia tentu telah memulai pendidikan agama sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Tujuan pendidikan agama ini adalah mengisi otak (knowledge), mengisi hati (value), mengisi tangan (psikhomotorik) peserta didik, sehingga seseorang bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis baik ditinjau dari segi etnik, budaya, geografis dan agama. Ditandai dengan kemajemukan geografis dihuni lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil, serta lebih dari 300 suku dan menganut berbagai agama dan kepercayaan. Kemajemukan ini adalah merupakan kekayaan yang apabila dapat diarahkan kepada nilai-nilai positif dianya akan mendatangkan nilai positif pula. Akan tetapi, kemajemukan itu juga apabila ditafsirkan arti sempit bisa membawa kepada perpecahan dan disintegrasi seperti kasus yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia.
Kemajemukan itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat alami dan kodrati bagi bangsa Indonesia, artinya bangsa ini tidak bisa mengelakkan dirinya dan keadaan yang plural tersebut, karenanya bangsa Indonesia bagaimanapun juga tidak bisa menghilangkan kemajemukan itu sendiri. Oleh karena itu, sikap yang harus di ambil adalah bukan bagaimana menghilangkan kemajemukan tetapi bagaimana bisa hidup berdampingan secara damai dan aman penuh toleransi, saling menghargai dan saling memahami antara anak bangsa yang berbeda suku, bahasa, budaya dan agama. Salah satu diantara upaya perekat itu adalah lewat pendidikan agama.[5]

D.    Pluralisme Sosial dan Hubungannya Dengan Pendidikan Agama di Indonesia
Ada beberapa landasan peraturan dalam bidang pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, untuk meghempang semua kegiatan yang mengarah kepada perpecahan bangsa.
1.      Landasan konstitusional
a.       Penerimaan sebagai peserta didik
Penerimaan seseorang sebgai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jens kelamin, agama , suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
b.      Tenaga pengajar
Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan ajaran agama yang di ajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan (UU No. 20 Tahun 2003 penjelasan pasal 12 ayat 1 ).
c.       Isi Kurikulum
Pendidikan Agama merupakan usaha  untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tutunan untuk menghormati agama lain dan hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
2.      Tujuan pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidypan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( UU No. 20 Tahun 2003 Bab 2 pasal 3 ).
3.      Isi Kurikulum Pendidkan Agama
Dikembangkan isi kurikulum yang menyentuh kesatuan dan persatuan bangsa, sesuai dengan visi pendidikan agama doi sekolah umum, “ terbentuknya sosok anak didik yang memiliki karakter watak dan kepribadian dengan landasan iman dan ketaqwaan serta nilai-nilai akhlaq atau budi pekerti yang kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan perilaku sehari-hari untk selajutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa.
4.      Pendidikan Non Formal
Kedudukan pendidikan non formal ini tidak kalah peranannya dari pendidikan formal. Banyak hal yang tidak terjangkau oleh pendidikan formal dapat dilaksanakan lewat pendidikan non formal. Oleh karena itu pendidikan non formal memegang peranan yang sangat strategis dalam memberdayakan pendidikan di indonesia.[6]

E.     Kegagalan Pendidikan Nasional/Islam
Praktik pendidikan Islam di tanah air pada dasarnya memiliki andil besar dalam penguatan integrasi bangsa[7]. Tetapi, peran pendidikan Islam maupun pendidikan nasional banyak juga mengalami kegagalan, diantaranya:
1.    Kegagalan dalam menciptakan SDM yang berkualitas.
2.    Kegagalan pendidikan dalam menghindari ancaman disintegrasi bangsa. Seperti kerusuhan sosial SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang telah terjadi di berbagai daerah.
3.    Kegagalan pendidikan dalam menghasilkan warga negara yang berakhlak.
4.    Kegagalan untuk mendorong tingkat partisipasi pendidikan (partisipasi anak wajib sekolah/ belajar).
5.    Kegagalan menekan secara signifikan tingkat pengangguran (termasuk di dalamnya pengangguran terdidik/sarjana).[8]
Bertolak dari realitas sosial sebagai indikasi kegagalan pendidikan nasional dan pendidikan Islam di atas. Maka, prioritas yang harus dilakukan kedepan adalah perlunya lebih memfokuskan pengelolaan pendidikan nasional tanpa mengesampingkan sektor-sektor lainnya secara terencana, terprogam dan profesional. Di samping itu, pendidikan Islam perlu menyiapkan diri dan proaktif merespon gejala perkembangan zaman agar dapat memberikan output berkualitas yang memiliki pengetahuan, teknologi dan sains agama serta mampu berkompetisi dengan bangsa lain dalam era perdagangan bebas.

BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A.    Kesimpulan
Masyarakat Indonesia yang majemuk adalah merupakan suatu kekuatan dan kekayaan khazanah bangsa, namun harus juga diwaspadai bahwa keanekaragaman itu dapat memicu konflik horisontal yang di beberapa daerah di Indonesia telah terjadi. Oleh karena itu, upaya antisipasi harus dilakukan. Upaya yang harus dilakukan harus bernuansa strategis yang berjangka panjang. Pendidikanlah jawabannya dalam menanganangi hal tersebut. Selain pendidikan formal, maka upaya pendidikan yang bersifat nonformal juga tidak kalah pentingnya. Pendidikan masyarakat yang dikelola oleh masyarakat baik yang berbentuk lembaga ataupun tidak memilki peran yang sangat penting dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah masyarakat yang pluralis.
B.     Penutup
Sekian makalah yang dapat kami buat, kami sangat menyadari keterbatasan kami sebagai manusia yang tentunya berpengaruh pada hasil karya kami. Oleh karena itu, apabila karya kami ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, kami mohon maaf yang seikhlasnya kepada segenap pembaca. Semoga makalah kami ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan para pembaca dan saya juga berharap makalah ini dapat diterima sebagai pemenuhan nilai tugas dan pembelajaran. Terima kasih atas perhatian dan partisipasinya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

DAFTAR PUSTAKA


            Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.  Jakarta: Prenada Media.
            Hisyam, Yazid dkk. 2010. Model Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme. Semarang: diambil dari internet pada tanggal 1 Januari 2014. http://kelompok14pendidikanpluralisme.blogspot.com.
            Idi, Abdullah dan Toto Suharto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
            Subkhan, Imam. 2007. Hiruk Pikuk Wacana PluralismeDi Yogya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


                [1] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. hlm. 113-114.
                [2]Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana PluralismeDi Yogya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. hlm. 27.
                [3] Abdullah Idi dan Toto Suharto, op.cit. hlm. 114-118.
                [4] Yazid Hisyam, dkk, Model Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme, Semarang: diambil dari internet http://kelompok14pendidikanpluralisme.blogspot.com.
                [5] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004. hlm. 163-165.
                [6] Haidar Putra Daulay. op.cit. hlm. 174-177.
                [7] Integrasi bangsa adalah menunjuk pada keutuhan bangsa dalam konteks hubungannya dengan bangsa atau negara lain.
                [8] Abdullah Idi dan Toto Suharto, op.cit. hlm. 121-125.