Rabu, 11 September 2013

PENDIDIK DALAM KHAZANAH PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Dalam perspektif pendidikan islam, tujuan hidup seorang muslim pada hakekatnya adalah mengabdi kepada Allah. Pengabdian pada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat orang yang bertaqwa disisi-Nya. Beriman dan beramal shaleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan oleh pendidikan islam. Sedangkan hakikat tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan berkemampuan ilmiah (insan kamil).
Untuk mengaktualisasikan tujuan tersebut, seorang pendidik memiliki tanggungjawab untuk mengantarkan peserta didik kearah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia pendidikan sangat krusial. Hal ini disebabkan karena kewajibanya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta didik. Bentuk nilai yangt ditransformasikan dan disosialisasikan  paling tidak meliputi: nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius.
Secara faktual, pelaksanaan transformasi pengetahuan dan iternalisasi nilai pada peserta didik secara integral merupakan tugas yang cukup berat di tengah kehidupan masyarakat yang kompleks, apalagi pada era globalisasi dan imformasi. Pandangan tersebut dilatarbelakangi banyaknya kasus yang melecehkan keberadaan pendidik di sekolah, di luar sekolah maupun dalam kehidupan sosial masyarakat yang demikian luas. 

  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah definisi guru dalam literatur arab yakni mu’allim, mu’addib, murabbiy, dan ustadz?
2.      Apa saja syarat-syarat pendidik dalam literatur pendidikan islam?
3.      Apa saja etika pendidik dalam literatur pendidikan islam?
4.      Apa saja hak dan kewajiban pendidik dalam perspektif islam dan undang-undang pendidikan di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Guru adalah pendidik professional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab  pendidikan yang  terpikul di pundak para orang tua .
Mereka ini, tatkala menyerahkan anaknya kesekolah , sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan terhadap guru. Hal itupun menunjukan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena tidak sembarang orang dapat menjabat sebagai guru.
Di Negara-negara timur sejak dahulu kala guru itu dihormati oleh mahsyarakat. Orang india dahulu menganggap guru itu sebagai orang suci dan sakti. Di jepang guru disebut sensei artinya yang lebih dahulu lahir,”yang lebih tua”. Di inggris guru itu dikatakan ”teacher”. Dan di jerman “den Lehrer”, keduanya berarti “pengajar”m melainkan juga “pendidik”, baik didalam maupun diluar sekolah.ia harus menjadi menyuluh mahsyarakat.
Agama islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan (guru/ulama) , sehingga hanya mereka sajalah yang pantas mencapai taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Kata pendidik dalam bahasa indonesia, jika dicarikan padanan dalam literatur Arab yang sering digunakan oleh umat islam dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, maka dapat ditemukan beberapa istilah yang bisa disepadankan dengan kata pendidik tersebut, yang antara lain; ustadz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.
Namun demikian, jika itilah pendidikan itu diambil dari kata tarbiyah, yang memiliki arti menciptakan, memelihara, mengatur, mengurus dan memperbaharui, maka orang yang melaksanakan kegiatan pendidikan (tarbiyah) dalam arti orang yang tugasnya sebagai pencipta, pemelihara, pengatur, pengurus dan pemerbaru disebut murabbiy atau pendidik. Apabila istilah pendidikan diambil dari kata ta’lim, maka istilah pendidik disebut mu’allim, demikian juga apabila istilah pndidikan  diambil dari kata ta’dib, maka pendidik disebut mu’addib.
Berikut definisi pendidik dalam literatur arab:
a.       Murabbiy
Artinya seseorang yang memiliki tugas mendidik dalm arti pencipta, pemelihara, pengatur, pengurus, dan memperbaharui kondisi pserta didik agar berkembang potensinya.
b.      Mu’allim
Artinya seseorang yang berilmu (memiliki ilmu) pengetahuan luas, dan mampu menjelaskan/mengajarkan/mentransfer ilmu tersebut kepada peserata didik, sehingga peserta didik bisa mengamalkannya dalam kehidupan.
c.       Mu’addib
Artinya seorang yang memiliki kedisiplinan  kerja yang dilandasi dengan etika, moral dan sikap yang santun, serta mampu menanamkannya kepada peserta didik melalui contoh untuk ditiru oleh peserta didik.[1]
d.      Ustadz
Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement.[2]

B.     SYARAT UNTUK MENJADI  GURU
Dilihat dari ilmu pendidikan islam, maka secara umum untuk menjadi guru yang baik dan diperkirakan memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya hendaknya bertaqwa kepada Allah, berilmu, serta jasmaniahnya, baik akhlaknya, bertanggung jawab dan berjiwa nasional.
1.      Takwa kepada  Allah sebagai syarat menjadi guru.
Guru sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan islam, tidak mungkin mendidik anak agar bertakwa kepada Allah , jika ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi muruidnya sebagaimana Rasulullah SAW menjadi teladan badgi umatnya. Sejauh mana seorang guru mampu memberi teladan baik kepada murid-muridnya  sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia.
2.      Berilmu sebagai syarat untuk menjadi guru
Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan.
3.      Sehat jasmani sebagai syarat menhjadi guru
Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Disamping  itu, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar.kita kenal ucapan”mens sana in corpore sano”, yang artinya dalam tubuh sehat terkandung  jiwa yang sehat.
Walapun pepatah  itu tidak benar secara menyeluruh , akan tetapi bahwa kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat bekerja.
4.      Berkelakuan baik sebagai syarat menjadi guru
Budi pekerti guru maha penting daklam pendidikan watak murid.guru harus menjadi suri teladan,karena anak-anak bersifat suka meniru.Diantara tujuan pendidikan ialah membentuk akhlak baik pada anak dan ini hanya mungkin jika guru itu berakhlak baik pula.guru yang tidak berakhlak baik tidak mungkin dipercayakan pekerjaan mendidik.yang dimaksud dengan akhlak baik dalam ilmu pendidikan islam adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran islam, seperti dicontohkan pendidik utama,Muhammad SAW.
C.    ETIKA GURU
Pengertian Etika Guru
Sebenarnya kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional, ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki sifat-sifat yang berikut:
1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surat Al-imran, ayat 79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya.
3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.
4. Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.
5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
6. Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik.
7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
8. Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.
9. Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar.
Seperti makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
“Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sebab Allah Maha Mengetahui apa yang kamu buat”.
Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh seorang guru Muslim di atas mana proses penyediaan guru-guru itu harus dibina.[3]
.    
1.      Diantara akhlak guru tersebut adalah:
a.       Mencintai jabatanya sebagai guru
b.      Bersikap adil terhadap semua muridnya
c.       Berlaku sabar dan tenang
d.      Guru harus berwibawa
e.       Guru harus gembira
f.       Guru harus bersifat manusiawi
g.      Bekerja sama dengan guru-guru lain
h.      Bekerja sama dengan masyarakat
2.      Etika guru menurut Al Ghazali:
a.       Bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar
b.      Guru bertugas untuk mengikuti nabi sebagai pemilik syara
c.       Jangan meninggalkan nasehat-nasehat guru
d.      Menanamkan hal-hal yang halus
e.        Supaya diperhatikan tingkat akal fikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya
f.       Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri murid
g.      Guru harus kerja sama dengan murid dalam membahas dan menjelaskan
h.      Guru harus mengamalkan ilmunya[4]
3.       Menurut Ibnu Jama'ah, etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a.    Etika yang terkait dengan dirinya sendiri, yaitu
(1)    memiliki sifat keagamaan (diniyyah) yang baik, meliputi patuh dan tunduk terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan.
(2)   memiliki sifa-sifat akhlak yang mulia (akhlaqiyyah)
b. Etika terhadap peserta didik, yaitu
(1)    sifat-sifat sopan santun (adabiyyah).
(2)   sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelmatkan (muhniyyah).
c. Etika dalam proses belajar mengajar, yaitu
(1)    sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan(muhniyyah);
(2)   sifat-sifat seni yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan.[5]

D.    HAK DAN KEWAJIBAN PENDIDIK MENURUT UNDANG-UNDANG
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI Pasal 40
(1)   Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a.       Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai,
b.      Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja,
c.       Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas,
d.      Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual, dan
e.       Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
(2)   Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a.       Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis,
b.      Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
c.       Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Yasin, A. Fatah. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Press.
2007. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


mengenal macam-macan kondisi qolbu

MENGENAL MACAM-MACAM KONDISI QOLBU


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah kami sanggup menyelesaikan makalah tentang “Mengenal Macam-Macam Kondisi Qalbu” ini dengan lancar.
Makalah ini disusun selain guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf 2 juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca mengenai mengenal macam-macam kondisi qalbu. Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang hal tersebut.
Sumbangan tulisan dan pemikiran dari teman-teman kelompok dalam penyusunan makalah ini adalah andil besar dalam terselesainya makalah Akhlak Tasawuf 2 ini. Untuk itu ucapan terimakasih kami persembahkan kepada teman-teman atas segala pemikirannya.
Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR.

Salatiga,  Mei 2013

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kita telah mengetahui dari Al-qur’an bahwa hati kita akan diminta pertanggungjawaban jika melakukan dosa-dosa. Karena itu tidak benar orang yang mengatakan bahwa niat yang jelek tidak akan dihukum sebelum niat itu dilaksankan. Niat yang jelek juga merupakan salah satu penyakit hati.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Mengetahui pengertian Qalb (hati)
2.      Mengetahui macam-macam hati dan perubahan hati
3.      Tanda-tanda penyakit hati, fungsi dan kesehatannya
4.      Contoh dan pengertian penyakit hati
5.      Penyakit hati dan penyakit jiwa

C.     TUJUAN
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf 2.
2.      Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai mengenal macam-macam kondisi hati atau qalb.
3.      Memahami hal-hal yang berkaitan tentang kondisi qalb dalam kehidupan umat Islam sekarang ini.
  
BAB II
PEMBAHASAN
MENGENAL MACAM-MACAM KONDISI QALBU
A.    Pengertian Hati (Qalb)
Qolb mempunyai dua makna yaitu qolb dalam bentuk fisik dan dalam bentuk ruh. Dalam bentuk fisik dapat diterjemahkan sebagai jantung atau juga disebut sebagai mudghah. Orang sering menerjemahkan qolb di sini sebagai ‘hati’. Nabi menyebutnya sebagai segumpal daging. 
Qolb dalam arti ruhaniyah yang mampu melakukan peng-indrak-an. Idrak adalah memahami, mempersepsi dan menyerapi misalnya perasaan sedih dan gembira, yang berfikir dan merenungkan itu kekuatan batin kita yang disebut qolb. Kalau ada orang yang menyebutkan “hatinya hancur”, maka yang dimaksud bukan jantugnya tetapi ada bagian jiwa orang itu yang hancur.
Rasulullah menggambarkan hati itu seperti selembar bulu yang tergantung di atas pohon yang ditiup angin, beliau mengingatkan agar kita berhati-hati menghadapi perubahan itu. Karena itu ada do’a yang diajarkan nabi untuk mengkokohkan hati, yaitu “teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu”.
Ada suatu cerita ada seorang laki-laki menikah dengan mahar yang tidak dibayar kontan, sedangkan ia berniat dalam hati untuk tidak membayarnya, maka ALLAH menghitung laki-laki tersebut berzina. Jadi kita sebagai hamba Allah harus berhati-hati dalam berniat. Karena apa sesungguhnya posisi qolb sama seperti pemimpin di tengah-tengah manusia.
Dalam hadis disebutkan,”Sesungguhnya Allah punya wadah di bumi dan wadah itu adalah hati. Maka sesungguhnya hati yang dicintai oleh Allah adalah hati yang lembut, yang bersih dan yang kokoh.”[1]

B.     Macam-Macam Hati dan Perubahan Hati
1.      Hati mempunyai tiga macam, yaitu :
a.       Hati yang terbalik, yaitu hati yang tidak bisa menampung kebaikan sedikitpun dan itu adalah hati orang kafir[2].   
b.      Hati yang di dalamnya ada titik hitam, yaitu yang di dalamnya bertarung antara kebaikan dan kejahatan. Kalau salah satu kuat, maka yang kuat itulah yang menang.
c.       Hati yang terbuka yang di dalamnya ada lampu (cahaya) yang bersinar-sinar sampai hari kiamat. Itu hati orang mukmin. Ali mengatakan “hati yang paling baik adalah hati yang paling bisa menyimpan kebaikan.”[3]
2.      Perubahan hati atau kondisi hati
Perubahan atau kondisi hati ada empat macam, yaitu:
a.       Hati yang tinggi, yaitu tingginya hati ini ketika dzikir kepada Allah SWT. Kalau orang senantiasa berdzikir kepada Allah, maka hatinya akan naik ke tempat yang tinggi[4].
b.      Hati yang terbuka, hati ini diperoleh apabila kita ridho kepada Allah.
c.       Hati yang rendah, yaitu terjadi ketika kita disibukkan dengan hal-hal yang selain Allah.
d.      Hati yang mati, yaitu sama sekali melupakan Allah.
Oleh karena itu untuk menjaga agar hati kita selalu hidup maka ingatlah kepada Allah. Dalam salah satu hadis dikatakan “kalau hati tidak diisi dengan dzikir, maka ia bagaikan bangkai”. [5]

C.     Tanda-Tanda Penyakit Hati, Fungsi dan Kesehatannya
1.      Tanda-tanda penyakit hati
Ketahuilah bahwa setiap anggota badan diciptakan untuk suatu fungsi tertentu, sedangkan sakitnya anggota badan ialah apabila tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga fungsi itu tidak muncul sama sekali atau muncul tetapi disertai semacam ketidakstabilan. Sakit tangan atau mata adalah ketidakstabilan memegang atau melihat. Demikian pula sakitnya hati ialah tidak berjalannya fungsi penciptaan hati; yaitu menyerap ilmu, hikmah, dan ma’rifah, mencintai Allah, ibadah kepada-Nya, merasakan kelezatan dengan mengingat-Nya, mengutamakan semua itu ketimbang semua syahwat, meminta bantuan semua syahwat dan organ untuk melaksanakan fungsi tersebut. Allah berfirman :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
Artinya : “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
2.      Fungsi hati
Fungsi hati adalah hikmah dan ma’rifah yang merupakan keistimewaan jiwa yang dimiliki manusia. Dengan fungsi tersebut manusia berbeda dengan binatang. Manusia tidak berbeda dari binatang karena kemampuannya untuk makan, tapi karena mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Sedangkan asal, pencipta dan penemu sesuatu adalah Allah yang menjadikannya sebagai sesuatu. Jika manusia mengetahui sagala sesuatu tetapi tidak mengetahui (ma’rifah) Allah maka ia dianggap tidak mengetahui apa-apa. Tanda ma’rifah adalah cinta. Siapa yang mengetahui Allah pasti mencinyai-Nya.  Sedangkan tanda cinta adalah mengutamakan-Nya ketimbang dunia atau selain-Nya. Siapa yang lebih mencintai sesuatu ketimbang Allah maka hatinya sakit. Itulah tanda-tanda penyakit dan dengan hal ini diketahui bahwa semua hati menderita sakit kecuali yang dikendaki Allah.[6]
Fungsi lain dari hati yaitu tafakur, yaitu yang dapat mengantarkan manusia ketingkat yang tinggi. Orang yang sering tafakur disebut Ulul albab. Oleh karena itu, kalau hati kita sakit, maka tafakurnya akan sakit. Hal ini ditandai dengan rasa gelisah tidak tenteram, perasaan tidak khusyuk, dan selalu ada rasa was-was.[7]
3.      Kesehatannya
Adapun tanda-tanda kepulihan kesehatnnya setelah diterapi ialah memperhatikan penyakit yang diterapi. Jika penyakit yang diterapi adalah penyakit kebakhilan maka ia merupakan pembinasa yang menjauhkan diri dari Allah dimana terapinya adalah dengan memberikan dan menginfaqkan harta tetapi jangan sampai berlebihan atau mubadzir, karena memerlukan keseimbangan atau pertengahan diantara keduanya. Maka anda senantiasa mengawasi diri dan mengenali akhlaq anda dengan kemudahan dan kesulitannya dalam berbuat. Sikap pertengahan yang sejati antara dua sisi tersebut sangat rumit, bahkan lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang, maka tidak diragukan lagi bahwa orang yang bisa menjaga keseimbangan di atas jalan yang lurus di dunia pasti akan melaju di atas jalan di akhirat.[8]

D.    Penyakit Hati
Penyakit hati ada dua macam, yaitu
1.      Bentuk penyakit yang meniadakan berbagai maqam hati. Misalnya riya’ dan kemusyrikan dan menafikan tauhid dan ubudiyah sedangkan cinta kepemimpinan, cinta kedudukan, dan cinta dunia meniadakan zuhud.[9]
Contoh dan pengertiannya :
a.       Kufur; yaitu tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya, baik dengan mendustakan-Nya atau tidak mendustakan-Nya, seperti mengingkari aksiomatika agama atau melaksanakan salah satu hal yang membatalkan syahadatain karena kekafiran merupakan kegelapan yang membatalkan amal.
b.      Nifaq; dibagi menjadi dua, yaitu nifaq nazhari dan nifaq ‘amali. Nifaq nazhari ialah bahwa keyakinannya tentang hakikat islam bertentangan dengan pernyataan keimanannya kepada islam. Nifaq ‘amali ialah memiliki akhlaq orang-orang munafiq dalam memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, berkasih sayang kepada mereka, mendukung perjuangan mereka, menyalahi janji, membiasakan berdusta, atau berkhianat dan curang.
c.       Kefasikan; pelanggaran terhadap perintah Allah dan kemaksiatan, dengan tidak mendekati berbagai larangan, tidak menyalahi berbagai perintah, dan menjauhi berbagai perbuatan keji baik yang lahir maupun yang batin.
d.      Bid’ah; dibagi menjadi dua, yaitu bid’ah kenyakinan (aqidah) dan bid’ah amaliah. Bid’ah kenyakinan adalah dengan membebaskan diri dari berbagai kenyakinan firqah-firqah yang sesat dan setiap ideologi yang bertentangan dengan apa yang dianut oleh ahlu sunnah wal jama’ah; dan bebas dari berbagai bid’ah amaliah. Bid’ah amaliah adalah amal perbuatan yang tidak dibolehkan oleh para imam ijtihad; barang siapa mengikuti fatwa salah seorang imam mujtahid di kalngan ahlu sunnah wal jama’ah maka tidak boleh dikatakan bid’ah, dan barangsiapa melakukan amal perbuatan yang memiliki landasan dari Rasulullah saw dan para sahabatnya juga tidak dibolehkan oleh fatwa imam mujtahid maka itulah yang disebut bid’ah amal yang wajib ditaubati.[10]
e.       Musyrik; perbuatan menyekutukan Allah dengan apapun atau memberikan rubbubiyah kepada yang tidak berhak mendapatkannya, mengacaukan hati manusia sehingga tidak dapat menghadap ke satu arah dalam ubbudiyah dan talaqqi.
f.       Riya’; seseorang beramal shalih dengan maksud untuk dilihat/dipuji oleh orang lain.
g.      Sum’ah; memperdengarkan kepada orang lain kelebihan dirinya.
h.      Cinta kedudukan dan kepemimpinan; penyakit hati yang mendorong dan memotivasi orang untuk cinta kedudukan dan kepemimpinan.
i.        Dengki; mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki. Dengki merupakan salah satu dosa besar. Nabi saw bersabda: “Telah menyebar di kalangan kalian penyakit umat-umat sebelum kalian, kedengkian dan kebencian; dia adalah pencukur, saya tidak mengatakan pencukur yang mencukur rambut tetapi pencukur yang mencukur agama”. (Tirmidzi).
j.        Bakhil; penyakit hati yang dapat menghilangkan iman seseorang dengan bersikap ‘pelit’.
k.      Sombong; meremehkan, meminta dilayani dan mengharap ketundukan dari orang lain dan kepatuhan terhadap keinginannya.
l.        Ujub; berbangga diri, kekikiran serta memperuntukan hawa nafsu bagi kehidupan dunia secara umum dan kehidupan islami secara khusus.[11]
2.      Bentuk penyakit yang menafikan takhalluq dengan nama-nama Allah dan peneladanan kepada rasulullah. Misalnya, amarah bukan pada tempatnya meniadakan kesantunan.
Contonya:
a.       Amarah yang zalim; Nabi saw pernah marah, demikian pula Allah. Jadi, asal amarah itu tidak dianggap aib juga tidak juga dianggap penyakit. Tetapi hal yang tidak dibenarkan adalah amarah dalam kebatilan, amarah yang zalim, atau cepat marah dan lambat redanya. Nabi saw bersabda: “ Orang kuat itu bukanlah orang yang menang gulat tetapi orang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat marah” (bukhari dan muslim).[12]
b.      Cinta dunia; perasaan tentram terhadapnya, perbuatan pecinta dunia dan melupakan akhirat mengakibatkan perbuatan yang pelakunya berhak dimasukkan kedalam neraka.  Allah berfirman:
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ  

Artinya: “ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.” (al-hadid: 20).[13]
c.       Mengikuti hawa nafsu; keinginan manusia yang mengikuti hawa nafsunya daripada Allah naka dalam diri manusia terdapat penyakit hati dan hawa nafsu adalah kecenderungan jiwa yang salah. Allah berfirman:
Èqs9ur yìt7©?$# ,ysø9$# öNèduä!#uq÷dr& ÏNy|¡xÿs9 ÝVºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur `tBur  ÆÎgŠÏù 4 ö@t/ Nßg»oY÷s?r& öNÏd̍ò2ÉÎ/ óOßgsù `tã NÏd̍ø.ÏŒ šcqàÊ̍÷èB ÇÐÊÈ  

       Atinya: “ andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini.” (al-mu’minuun: 71).
E.     Penyakit Hati dan Penyakit Jiwa
       Seringkali kita mendengar adanya penyakit jiwa atau tingkah laku yang tidak normal. Kalau penyakit hati adalah penyakit karena pertentangannya dengan syariat islam, maka penyakit jiwa adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang melebihi takaran normal. Misalnya, orang mandi berjam-jam melebihi takaran kebiasaan orang normal. Karena orang normal mandi beberapa menit saja. Ukuran lain untuk penyakit jiwa adalah kalau oang itu sering melakukan tingkah laku yang mengganggu ketentraman orang lain. Misalnya, eksibisionisme, yaitu kesenangan membuka atau memamerkan kemaluannya di tempat yang ramai.
       Kadang-kadang penyakit jiwa sering bercampur dengan penyakit hati. Hanya saja penyakit hati tidak mempunyai kriteria seperti di atas. Penyakit hati ditandai dengan pertentangannya terhadap syariat islam. Contoh penyakit jiwa yang bercampur dengan penyakit hati adalah hasad. Karena sifat yang bukan hanya mengganggu dirinya tetapi juga mengganggu orang lain.[14]

F.      Imbauan Untuk Ikhlas
       Saudaraku, sadarlah dan berhati-hatilah dalam tindakanmu. Mintalah dari dirimu pertanggungjawaban untuk setiap perbuatanmu. Telitilah dirimu dengan cermat, usahakan untuk menilai perbuatanmu dengan instrospeksi diri. Jika perbuatan yang kamu lakukan karena Allah,  atau kamu bermaksud agar orang menirumu atau yang lainnya, maka bersyukurlah kepada Allah. Karena Ia telah memungkinkan kamu bertindak dengan penuh kesadaran dan kemurnian hati. Maka dari itu bersikap dan bersifat yang Ikhlas.[15]

BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A.    Kesimpulan
     Bahwa dalam membahas masalah mengenal macam-macam kondisi Qalbu (hati), maka kita akan ditemukan berbagai hal. Hal tersebut diantaranya bahwa hati itu terbagi menjadi dua pengertian yaitu, hati berbentuk fisik (jantung) dan hati yang berbentuk ruh (perasaan/ruhaniah).
     Selanjutnya kita bisa mengenal macam-macam, kondisi hati, tanda-tanda penyakit hati, fungsi hati dan kesehatnnya. Banyak hal yang berguna untuk dipelajari mengenai kondisi hati. Dan kita bisa mengetahui bahwa penyakit hati dengan penyakit jiwa itu berbeda, tetapi ada penyakit gabungan antara keduanya.
B.     Penutup
Sekian makalah yang dapat kami buat, kami sangat menyadari keterbatasan kami sebagai manusia yang tentunya berpengaruh pada hasil karya kami. Oleh karena itu, apabila karya kami ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, kami mohon maaf yang seikhlasnya kepada segenap pembaca. Semoga makalah kami ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan para pembaca dan kami juga berharap makalah ini dapat diterima sebagai pemenuhan nilai tugas dan pembelajaran. Terima kasih atas perhatian dan partisipasinya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

DAFTAR PUSTAKA

Hawwa, Sa’id. 2004. Intisari Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali Mensucikan Jiwa. Jakarta: Daarus Salaam.
Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Renungan-Renungan Sufistik. Bandung:Mizan.



[1] Jalaludin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung:Mizan,1999),hlm.69-71.
[2] Kafir di sini termasuk kafir Amali, yaitu kafirnya seorang muslim ketika seorang muslim tidak mau bersyukur kepada Allah, sementara bila diperingatkan tidak diperingatkan dia tidak mau mengikuti petunjuk.
[3] Ibid. hlm. 72.
[4] Tempat tinggi di sini adalah lebih dekat dengan Allah swt.
[5] Ibid.hlm.73.
[6] Sa’id Hawwa, Intisari Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali Mensucikan Jiwa, (Jakarta: Daarus Salaam, 2004), hlm. 164-165.
[7] Jalaluddin Rakhmad, op.cit. hlm.77.
[8] Sa’id Hawwa, op.cit. hlm. 167.
[9] Sa’id hawwa, op.cit. hlm. 180.
[10] Sa’id Hawwa, op.cit, hlm. 182-183.
[11] Ibid. Hlm. 185-216.
[12] Ibid. Hlm. 275.
[13] Ibid. Hlm. 298.
[14] Jalaluddin Rahmat, op.cit. hlm 79-80.
[15]Ibid. Hlm. 91-92.