Rabu, 17 April 2013

barang temuan FIQH (tri mashudi)



MAKALAH
FIQH 2
BARANG TEMUAN (LUQATHAH)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh 2
Dosen pengampu : Sukron Ma’mun, M.Si.


Anggota:
Yuli Hastuti                111-11-050
Dwi Lestari                 111-11-055
Khuzaimah                  111-11-131
Tri Mashudi                 111-11-177


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2013
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah SWT. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nya-lah kami sanggup menyelesaikan makalah tentang “Barang Temuan (luqathah)” ini dengan lancar.
Makalah ini disusun selain guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh 2 juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada pembaca mengenai barang temuan. Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang hal tersebut.
Sumbangan tulisan dan pemikiran dari teman-teman kelompok dalam penyusunan makalah ini adalah andil besar dalam terselesainya makalah Fiqh 2 ini. Untuk itu ucapan terimakasih kami persembahkan kepada teman-teman atas segala pemikirannya.
Pekerjaan BESAR adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR.

Salatiga,  Maret 2013

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Luqathah (barang temuan) secara bahasa dengan huruf qof berbaris atas (fathah) merupakan kata nama dari multaqith berkata Imam Khalil bin Ahmad bahwa setiap kata nama yang mempunyai sintaksis fu’lah, maka dia adalah nama untuk kata pekerja (fa’il), sama seperti ucapan para ahli bahasa humazah (celaan), lumazah (ejekan) dan luqatahah dengan qaf berbaris mati (sukun) adalah harta yang ditemukan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Mengetahui pengertian barang temuan (luqathah)
2.      Mengetahui hukum pengambilan barang temuan
3.      Rukun Luqathah
4.      Macam-macam benda yang diperoleh
5.      Mengenalkan benda temuan

C.     TUJUAN
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh 2.
2.      Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Barang Temuan (luqathah).
3.      Memahami hal-hal yang berkaitan tentang Barang Temuan dalam kehidupan umat Islam sekarang ini.



  





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Barang Temuan
1.       Etimologi (bahasa)
Barang temuan dalam bahasa arab (bahasa fuqaha) disebut al-luqathah atau sesuatu yang ditemukan atau didapat. Juga menurut yang lain al-luqathah adalah nama untuk sesuatu yang ditemukan.[1]
2.      Terminologi (istilah)
Barang temuan atau al-luqathah adalah harta yang hilang dari tuannya dan kemudian ditemukan oleh orang lain atau harta yang hilang dari pemiliknya baik karena jatuh, lupa dan sebagainya.[2]
3.      Menurut Para Ulama
a.       Muhammad al-syabini al-Khotib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah sesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya.
b.      Syaikh Syihab al-Din berpendapat bahwa sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan bukan didaerah harby, tidak terpelihara, dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut.
c.       Al-Imam Taqiy al-Din bahwa pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan.
Jadi, dari definisi di atas bisa dijelaskan bahwa barang temuan adalah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.[3]

B.     Status Hukum Barang Temuan (Luqathah)
Mengambil barang temuan pada prinsipnya dibolehkan sesuai dengan beberapa yang memerintahkan kita untuk berbuat baik dan kebajikan, sebab mengambil barang temuan tersebut dengan niat menjaga dan mengembalikan kepada pemiliknya adalah perbuatan baik.
1.      Syarat-syarat boleh mengambil barang temuan adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang mengambil berstatus merdeka, baligh, sebab barang temuan mengandung makna penguasaan dan orang yang tidak merdeka dan belum baligh bukan termasuk yang memiliki kuasa.
b.      Hendaklah ia merasa aman dengan dirinya sendiri, jika dia tidak merasa aman dengan dirinya sendiri, maka tidak boleh mengambilnya demi menghindari pengkhianatan.
c.       Barang yang ditemukan bisa diumumkan, seperti emas, perak, perhiasan, pakaian dan yang lainnya.
d.      Hendaklah tempat di mana dia menemukan barang tersebut bukan milik seseorang dan bukan negeri orang syirik sebab hasil temuan ditempat yang ada pemiliknya menjadi hak milik yang mempunyai tempat pada umumnya dan yang ditemukan di negeri orang syirik adalah ghonimah.
e.       Bukan berada ditempat yang dilarang seperti Mekah sebab luqathah Mekah tidak boleh diambil untuk dimiliki, namun diambil untuk dijaga sampai pemiliknya datang atau diumumkan.
f.       Merasa aman karena amanahnya orang yang mempunyai tempat di mana barang ditemukan.[4]
2.      Hukum pengambilan barang temuan
Hukumnya dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, diantarnya:
a.       Wajib, apabila orang yang mengambil percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
b.      Sunnat, apabila penemu percaya pada dirinya bahwa ia akan mampu memelihara benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya, tapi bila tidak diambilpun barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
c.       Makruh, apabila masih ragu akan benda itu karena tidak mampu memeliharanya.
d.      Haram, orang yang menemukan harta, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan betul bahwa dirinya tidak mampu memelihara harta tersebut.[5]
3.      Hukum persaksian terhadap luqathah
Persaksian terhadap barang temuan adalah tidak wajib hanya sekedar sunnah, baik diambil untuk dimiliki atau untuk dijaga dengan alasan bahwa luqathah mengandung makna mendapat penghasilan.
Sebagian ulama membedakan antara barang temuan dengan anak yang ditemukan, maka tidak wajib untuk barang sebab, ada makna mendapat penghasilan harta, tidak harus ada persaksian seperti jual beli. Wajib untuk anak sebab ia bisa menjaga nasab, maka wajib ada persaksian sama seperti akad nikah. Saksi adalah orang-orang yang terjaga dan tidak ada tuduhan berniat dusta.[6]
4.      Hukum mengetahui ciri-ciri luqathah
Jika orang yang menemukan barang temuan dan mengambilnya dengan niat menjaga, maka wajib baginya untuk mengetahui ciri-cirinya langsung setelah dia mengambilnya.
Namun, jika dia mengambilnya dengan niat untuk dimiliki setelah mengumumkannya, maka wajib baginya untuk mengetahuinya agar dia tahu apa yang ada dalam tanggungannya. Dalam memahami ciri-ciri barang temuan maka perlu memperhatikan ciri secara global yaitu, seperti mengenal bungkus, ikatan, jenis, dan ukurannya.
Maksud dari dimintainya orang yang menemukan barang temuan untuk mengenali ciri-ciri ini agar barang tersebut tidak bercampur dengan hartanya sendiri dan dengan begitu ia tahu benar tidaknya orang yang mengaku-ngaku.[7]

C.     Rukun Al-Luqathah
Rukun dalam al-luqathah ada dua, yaitu orang yang mengambil (menemukan) dan benda atau barang yang diambil.[8]

D.    Macam-macam Benda yang Diperoleh
Macam-macam benda temuan, diantaranya:
1.      Benda-benda tahan lama, yaitu benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, misal emas, perak dan yang lainnya.
2.      Benda-benda yang tidak tahan lama, yaitu benda yang tidak dapat disimpan pada waktu yang lama, misal makanan. Benda seperti ini bisa dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan. Bila kemudian si pemilik datang, maka penemu wajib mengembalikan atau memberi uang seharga benda tersebut.
3.      Benda yang memerlukan perawatan, seperti kulit hewan yang perlu disamak.
4.      Benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak. Pada hakikatnya binatang itu tidak dinamakan al-luqathah, tetapi disebut al-dhalalah, yakni binatang yang tersesat atau kesasar. Dalam hal ini, binatang yang ditemukan ada dua kategori, yaitu:
a.       Binatang yang kuat, yakni binatang yang mampu menjaga dirinya sendiri dari binatang buas. Seperti unta, sapi.
b.      Binatang yang tidak dapat menjaga dirinya sendiri dari serangan binatang buas, seperti anak kambing.[9]

E.     Mengenalkan Barang Temuan
Wajib bagi orang yang menemukan sesuatu dan mengambilnya untuk mengamati tanda yang membedakannya dengan benda lain, baik bentuk tempatnya atau ikatannya, serta jenis dan ukuran.
Penemu dan pengambil barang yang ditemukan berkewajiban memelihara barang tersebut. Dan benda tersebut sebagai wadhi’ah yaitu tidak berkewajiban menjamin apabila terjadi kerusakan kecuali bila disengaja.
Setelah itu, cara mengumumkan barang temuan bisa menggunakan cara, diantaranya dengan pengeras suara, radio, televisi, surat kabar, atau media massa lainnya. Cara mengumumkannya tidak mesti setiap hari, tapi boleh satu kali atau dua kali dalam seminggu, kemudian sekali sebulan dan terakhir dua kali setahun. Apabila dalam satu tahun pemiliknya tidak datang maka, ia boleh memilikinya jika ia mau. Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari Ya’la ibn Murrah berkata, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
barangsiapa yang memungut suatu barang tercecer yang sedikit, misalnya seutas tali, satu dirham atau yang seumpama, maka hendaklah diberitahukan selama tiga hari, jika selama itu pemiliknya tidak datang, hendaklah dishadaqahkan.”[10]
Ada juga hadis tentang mengumumkan barang temuan selama satu tahun, yaitu dari Zaid bin Khalid Al-juhani bahwa ketika baginda Nabi ditanya tentang barang temuan emas dan perak baginda menjawab: “kenali ikatan dan bungkusnya kemudian umumkan selama satu tahun.” [11]
Jadi, hadis di atas menunjukkan bahwa pengumuman waktunya selama satu tahun dan jika si pemilik tidak datang, maka ia boleh memilikinya jika ia mau.

F.      Al Ja’alah dan Syaratnya.
Al-ja’alah adalah sesuatu yang mesti diberikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, al-ja’alah dapat diartikan pula sebagai upah mencari benda-benda yang hilang.
Syarat-syarat al-ja’alah adalah sebagai berikut:
1.      Menunjukkan izin pekerjaan,  yang merupakan syarat atau tuntutan dengan takaran tertentu. Bila seseorang mengerjakan perbuatan, tapi tanpa seizin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya tidak ada (tidak memperoleh) suatu apapun, jika barang itu ditemukan.
2.      Keadaan al-ja’alah itu hendaklah ditentukan, uang atau barang, sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan itu.[12]

G.    Cara Memiliki Barang Temuan
Jika si penemu barang temuan sudah mengumumkan selama satu tahun atau kurang untuk barang yang memang dirasa sudah cukup, lalu dia tidak menemukan pemiliknya setelah diumumkan, maka dia berhak memiliki dengan syarat jaminan dan memilkinya harus dengan ucapan yang menunjukkan dia memilih memilikinya dari se pemilik barang.
Hadis dari Abdullah bin Amru bin al-’Ash bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Jika pemiliknya datang (maka berikanlah) dan jika tidak, maka ia menjadi milikmu”. Dengan hal ini, maka bisa diambil kesimpulan bahwa apabila menemukan barang temuan sebaiknya diumumkan ke masyarakat umum, kemudian apabila tidak di temukan pemiliknya, maka boleh dimiliki barang temuan tadi dengan niat memiliki.[13]




H.    Barang Temuan Berkurang Karena Cacat
Jika barang temuan berkurang karena cacat yang terjadi setelah dimiliki oleh si penemu, maka si pemilik mengambilnya dengan tambahan irsy[14] menurut pandapat yang lebih kuat karena semua ada jaminan, maka sebagiannya juga ada jaminan, si penemu membayar ganti rugi sama dengan dia mengganti semuanya jika rusak, dan si pemilik ada hak untuk meminta gantinya saja dengan barang yang tidak ada aibnya. Jika si penemu ingin mengembalikan ganti rugi dan si pemilik ingin mengembalikan ganti barang, maka yang dikabulkan adalah keinginan si penemu.[15]
































BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

A.    Kesimpulan
Barang temuan atau al-luqathah adalah harta yang hilang dari tuannya dan kemudian ditemukan oleh orang lain atau harta yang hilang dari pemiliknya baik karena jatuh, lupa dan sebagainya.
Bahwa dalam bab tentang barang temuan atau al-luqathah ada beberapa pengertian, syarat-syarat barang temuan dan hukum-hukum mengenai barang temuan. Hukum mengenai barang temuan ada beberapa hal, diantaranya hukum persaksian, hukum mengetahui ciri-ciri barang temuan, hukum mengumumkan barang temuan,  dan lain sebagainya.
Rukun al-luqathah ada dua, yaitu orang yang mengambil (yang menemukan) dan benda-benda atau barang yang diambil. Apabila menemukan barang temuan sebaiknya diumumkan ke masyarakat umum, kemudian apabila tidak di temukan pemiliknya, maka boleh dimiliki barang temuan tadi dengan niat memiliki.

B.     Penutup
Sekian makalah yang dapat kami buat, kami sangat menyadari keterbatasan kami sebagai manusia yang tentunya berpengaruh pada hasil karya kami. Oleh karena itu, apabila karya kami ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, kami mohon maaf yang seikhlasnya kepada segenap pembaca. Semoga makalah kami ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan para pembaca dan kami juga berharap makalah ini dapat diterima sebagai pemenuhan nilai tugas dan pembelajaran. Terima kasih atas perhatian dan partisipasinya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.












DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 197.
[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 268.
[3] Hendi Suhendi, op.cit. hlm. 198-199.
[4] Ahmad Wardi Muslich, op.cit. hlm. 270-272.
[5] Hendi Suhendi, op.cit. hlm. 199-200.
[6] Ahmad Wardi Muslich, op.cit. hlm. 275-276.
[7] Ibid., hlm. 277-278.
[8] Hendi Suhendi, op.cit.
[9] Ibid., hlm. 200-201.
[10] Ibid., hlm. 202-204.
[11] Ahmad Wardi Muslich, op.cit. hlm. 279.
[12] Hendi Suhendi, op.cit. hlm. 206-207.
[13] Ahmad Wardi Muslich, op.cit. hlm. 291-292.
[14] Irsy adalah nilai atau harga berkurangnya barang atau harta atas terjadinya perbedaan harga barang yang rusak dengan barang yang baik.
[15] Ibid., hlm. 295.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar